Mario Riawa adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, Indonesia. Kecamatan Mario Riawa adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Soppeng, yang dahulunya merupakan sebuah kerajaan mandiri dan berdiri sendiri dalam naungan konfaderasi kerajaan Watan Soppeng (soppeng). Walaupun Marioriawa berada dalam naungan Konfaderasi Watan Soppeng. Pada Masa pemerintahan La Pawiseang Datu Soppeng VII, Marioriawa keluar dari Konfaderasi tersebut dan Marioriawa bergabung ke dalam Konfaderasi Kerajaan Wajo pada saat itu di pimpin oleh Arung Matoa Wajo Lataddampare. Marioriawa pada masa itu diperintah oleh Lapaiyo Datu Marioriawa dan beliau meninggal di Lagosi daerah kerajaan Wajo, sehingga Lapaiyo diberi gelar anumerta yaitu Lapaiyo Datu Marioriawa Matinroe Ri Lagosi, Kerajaan Mario Riawa terdiri dari tiga Pabbicara dan satu Sullewatang, yakni Pabbicara Manorang Salo, Pabbicara Attang Salo, Pabbicara Bulue dan Sullewatang Padali. masing-masing Pabbicara terdiri dari beberapa Matoa. di Bulue terdapat Matoa Panci, Galungkalungnge. Di Manorang Salo terdapat Matoa Welongnge dan Matoa Tanete. Di Antang Salo terdapat Matoa Lompoe, Matoa Kaca dan Matoa Bunne. Sedangkan Sullewatang Padali tidak mepunyai Matoa karena posisinya seperti Datu Mario Riawa walaupun statusnya di wilayahnya sama dengan Pabbicara (istilah sekarngnya walikota Administratif). Datu Terahir di Marioriawa adalah Datu Mappejanci (Andi Mapejanci-raja soppeng sekarang - 2009), Pabbicara terakhir di Attang Salo adalah La Pariwusi (Andi Pariwusi Daeng Mapadeng Pabbicara Attang Salo. Matoa terakhir di Lompoe adalah Andi Wakka daeng Mawakka.
Setelah Terbentuknya Kerajaan Soppeng menjadi Kabupaten Soppeng, maka Status Kerajaan marioriwa-pun ikut berubah menjadi Kecamatan Marioriawa, masuk dalam administrasi kabupaten soppeng, adapun Pabbicara berubah menjadi Kelurahan dan Desa, dan seiring dengan adanya pemekaran maka kelurahan dan desapun bertambah sebagai berikut, Kelurahan Manorang Salo, Kelurahan Attang Salo, kelurahan Batu-Batu, Kelurahan Kaca, Kelurahan Limpongmajang, Desa Bulue, Desa Laringgi, Desa Panincong, dan Desa Patampanua, dan Desa Tellu Limpoe.
PENINGGALAN SEJARAH
Ada beberapa situs yang terdapat di Kecamatan Marioriawa, diantaranya Komplek Pekuburan raja Marioriawa dan Bangsawan lainnya di Jerak'e Madining Kelurahan Attang Salo, Komplek Komplek Pekuburan raja Marioriawa dan Bangsawan lainnya di Jerak'e Panci Desa BuluE.
Disamping Situs-sitis ada beberapa obyek wisata diantaranya, Pemandangan alam Danau Tempe dengan beberapa aktraksi lomba Perahu yang disebut Maccerak Tappareng di Kelurahan Limpong Majang, Kelurahan Kaca dan Desa Patampanua. Attaraksi Mappadendang dan Mattojang dalam rangka pesta Panen Raya hampir di semua Kelurahan dan Desa. Komplek Rumah Adat "Sao Mario" di Kelurahan Manorang Salo serta Permandian Air Panas Lejja di Desa BuluE.
sumber : Wikipedia
Read More..
Jumat, 08 Juli 2011
Tokoh Bugis La Maddukelleng
LA MADDUKKELLENG adalah putera dari Arung (Raja) Peneki La Mataesdso To Ma’dettia dan We Tenriangka Arung (Raja) Singkang, saudara Arung Matowa Wajo La Salewangeng To Tenrirua (1713-1737). Karena itulah La Maddukkelleng sering disebut Arung Singkang dan Arung Peneki.
Pada tahun 1713, Raja Bone La Patau Matanna Tikka mengundang Arung Matowa Wajo La Salewangeng untuk menghadiri perayaan pelubangan telinga (pemasangan giwang) puterinya I Wale di Cenrana (daerah kerajaan Bone). La Maddukkelleng ditugaskan pamannya (dia putera saudara perempuan La Salewangeng) ikut serta dengan tugas memegang tempat sirih raja. Sebagaimana lazimnya dilakukan di setiap pesta raja-raja Bugis-Makassar, diadakanlah ajang perlombaan perburuan rusa (maddenggeng) dan sambung ayam (mappabbitte).Pada saat berlangsungnya pesta sambung ayam tersebut, ayam putera Raja Bone mati dikalahkan oleh ayam Arung Matowa Wajo. Kemenangan itu tidak diakui oleh orang-orang Bone dan mereka berpendapat bahw pertarungan tersebut sama kuatnya. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya keributan. Pada saat itu La Maddukkelleng turut serta dalam perkelahian tersebut yang mengakibatkan korban di pihak Bone lebih banyak dibandingkan korban pihak Wajo. Lontarak Sukunna Wajo menyatakan bahwa pada waktu terjadi perkelahian tersebut, terjadi tikam menikam antara orang-orang Wajo-Bone di Cenrana, saat itu La Maddukkelleng baru saja disunat dan belum sembuh lukanya. Melihat kenyataan tersebut (karena mereka di wilayah kerajaan Bone), maka orang-orang Wajo segera melarikan diri melalui Sungai Walennae.
Setibanya Arung Matowa Wajo La Salewangeng di Tosora, maka datanglah utusan Raja Bone untuk meminta agar La Maddukkelleng diserahkan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya (dianggap bersalah). Arung Matowa Wajo mengatakan bahwa La Maddukkelleng tidak kembali ke Wajo sejak peristiwa di Cenrana. Utusan raja Bone itu kembali sekalipun ia yakin bahwa La Maddukkelleng masih berada di daerah Wajo, namun tidak dapat berbuat banyak karena adanya ikrar antara Bone, Soppeng dan Wajo di Timurung pada tahun 1582, bahwa tiga kerajaan itu harus saling mempercayai.
La Maddukkelleng datang menghadap dan meminta restu Arung Matowa Wajo dan Dewan Pemerintah Wajo (arung bentempola) untuk berlayar meninggalkan daerah Wajo. Saat itu bertepatan dengan selesainya pembangunan gedung tempat penyimpanan harta kekayaan di sebelah timur masjid Tosora serta gedung padi di tiga limpo. Anggota Dewan pemerintah Kerajaan Wajo (La Tenri Wija Daeng Situju) berpesan agar senantiasa mengingat negeri Wajo selama perantauan. Lalu La Maddukkelleng ditanya tentang bekal yang akan dibawa, ia menjawab bahwa ada tiga bekal yang akan dibawa serta yaitu: pertama lemahnya lidahku, kedua tajamnya ujung kerisku dan yang ketiga ujung kelaki-lakianku.
Dengan disertai pengikut-pengikutnya La Maddukkelleng berangkat dari Peneki dengan menggunakan perahu layar menuju Johor (Malaysia sekarang). Lontarak Sukunna Wajo memberitakan bahwa La Maddukkelleng dalam perjalanan bertemu dengan saudaranya bernama Daeng Matekko, seorang saudagar kaya Johor. Hal ini membuktikan bahwa lama sebelumnya orang-orang Wajo sudah merambah jauh negeri orang. La Maddukkelleng diperkirakan merantau pada masa akhir pemerintahan Raja Bone La Patauk Matanna Tikka Nyilinna Walinonoe, yang merangkap sebagai Datu Soppeng dan Ranreng Tuwa Wajo, sekitar tahun 1714
La Maddukkelleng di Perantauan
Dalam perjalanan rombongan tersebut, masih memegang adat tata dan norma kerajaan Wajo, La Maddukkelleng sebagai pimpinan. La Maddukkelleng mengangkat To Assa sebagai panglimanya. Mereka membangun armada laut yang terus mengacaukan pelayaran di Selat Makassar. Dalam perantauan ini juga La Maddukkelleng kawin dengan puteri Raja Pasir. Sementara itu salah seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai (Sultan Muhammad Idris).
Setelah sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone, tapi Wajo sudah siap dengan pasukan dan peralatan. Saat itu La Maddukkelleng menjadi Sultan Pasir, bertekad kembali ke Wajo memenuhi panggilan tanah leluhurnya, meskipun menghadapi banyak pertempuran.
Perjuangan dari Pasir kembali ke Wajo
Setelah itu La Maddukkelleng mengumpulkan kekuatan persenjataan dan armada yang berkekuatan perahu jenis bintak, perahu ini sengaja dipilih karena bisa cepat dan laju digerakkan. Perahu yang digunakan tersebut dilengkapi dengan meriam-meriam baru yang dibelinya dari orang-orang Inggris. Anggota pasukan La Maddukkelleng dibagi atas dua kelompok, yaitu pasukan laut (marinir) yang dipimpin oleh La Banna To Assa (kapitang laut) dan pasukan darat dipimpin oleh Panglima Puanna Pabbola dan Panglima Cambang Balolo. Pasukan istimewa tersebut seluruhnya merupakan orang-orang terlatih dan sangat berpengalaman dalam pertempuran laut dan darat di Semenanjung Malaya dan perairan antara Johor dengan Sulawesi. Pasukan ini terdiri atas suku Bugis, Pasir, Kutai, Makassar serta Bugis-Pagatan.
Armada La Maddukkelleng berangkat menuju Makassar melalui Mandar dan kemudian terlebih dahulu mampir di Pulau Sabutung. Dalam Desertasi Noorduyn dipaparkan bahwa dalam perjalanan menuju Makassar, dua kali armada La Maddukkelleng diserang oleh armada Belanda yaitu pada tanggal 8 Maret 1734 dan 12 Maret 1734. Dalam catatan Raja Tallo diberitakan bahwa armada Belanda yang terdiri dari enam buah perahu perang dapat dipukul mundur, perang ini berlangsung selama dua hari.
Lontarak Sukkuna Wajo menyatakan bahwa ketika armada La Maddukkelleng sedang berlayar antara pulau Lae-lae dan Rotterdam, pasukan Belanda yang berada di Benteng tersebut menembakinya dengan meriam-meriam. Armada La Maddukkelleng membalas tembakan meriam itu dengan gencar. Gubernur Makassar, Johan Santijn (1733-1737) mengirim satu pasukan orang-orang Belanda yang ditemani oleh Ancak Baeda Kapitang Melayu menuju pulau Lae-lae. Hampir seluruh pasukan tersebut ditewaskan oleh La Maddukkelleng bersama pasukannya. Melalui pelabuhan Gowa dia diterima oleh kawan seperjuangannya I Mappasempek Daeng Mamaro, Karaeng Bontolangkasa yang sebelumnya sudah dikirimi surat. Lalu kemudian Tumabbicara Butta (Mangkubumi) Kerajaan Gowa, I Megana juga datang menemui La Maddukkelleng. Kemudian diadakanlah pertemuan yang membicarakan rencana strategis dan taktik menghadapi tentara Belanda.
Setelah armada VOC tidak dapat mengalahkan armada La Maddukkelleng, mereka melanjutkan pelayaran menuju Bone dan tiba di Ujung Palette. Ratu Bone We Bataru Toja, yang merangkap jabatan Datu Soppeng, sejak tahun 1667 menjadi sekutu Belanda, mengirim pasukan untuk menghadang armada La Maddukkelleng, dan menyampaikan bahwa topasalanna Bone (orang bersalah terhadap Bone) dilarang masuk melalui sungai Cenrana. Suruhan La Maddukkelleng menyampaikan balasan bahwa La Maddukkelleng, Sultan Pasir, menghormati raja perempuan dan tidak akan melalui sungai Cenrana, tetapi melalui Doping (wilayah Wajo) ke Singkang. Dalam Musyawarah dengan Arum Pone (merangkap Datu Soppeng), Arung Matowa Wajo mendapat tekanan dari Raja Bone untuk menyerang dan tidak memberi kesempatan masuk. Arung Matowa Wajo menjawab bahwa berdasarkan perjanjian pemerintahan di Lapaddeppa antara Arung Saotanre La Tiringeng To Taba dengan rakyat Wajo (1476) yang berbunyi Wajo adalah negeri mereka dimana hak-hak asasi rakyat dijamin.
Dengan melalui proses negoisasi dan dengan persiapan yang mantap, La Maddukkelleng dengan pasukannya masuk melalui Doping. Tanggal 24 Mei 1736 ditambah dengan tambahan pasukan 100 (seratus) orang Wajo, sehingga diperkirakan kurang lebih 700 (tujuh ratus) orang ketika tiba di Singkang. Karena La Maddukkelleng masih menghormati Hukum Adat Tellumpoccoe (persekutuan antara Wajo, Soppeng dan Bone), dia berangkat ke Tosora untuk menghadiri persidangan dengan kawalan 1.000 orang. Tuduhan pun dibacakan yang isinya mengungkap tuduhan perbuatan La Maddukkelleng mulai dari sebab meninggalkan negeri Bugis sampai pertempuran yang dialaminya melawan Belanda. La Maddukkelleng lalu membela diri dengan alasan-alasan rasional dan menyadarkan akan posisi orang Bugis dihadapan Belanda. Karena demikian maka tidak mendapat tanggapan dari Majelis Pengadilan Tellumpoccoe.
La Maddukkelleng kemudian ke Peneki memangku jabatan Arung yang diwariskan ayahnya, namun dalam perjalanan tidak dapat dihindari terjadinya peperangan dengan kekalahan di pihak pasukan Bone. La Maddukkelleng dijuluki “petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe” yang artinya tuan/orang yang memerdekakan tanah Wajo dan rakyatnya. Karena La Salewangeng (pemangku Arung Matowa Wajo) usianya sudah cukup lanjut untuk menyelesaikan segala persoalan, maka melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat), beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Pengangkatannya di Paria pada hari Selasa tanggal 8 November 1736. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo
sumber :http://ahmade.com/tokoh-bugis-la-maddukelleng/ Read More..
Pada tahun 1713, Raja Bone La Patau Matanna Tikka mengundang Arung Matowa Wajo La Salewangeng untuk menghadiri perayaan pelubangan telinga (pemasangan giwang) puterinya I Wale di Cenrana (daerah kerajaan Bone). La Maddukkelleng ditugaskan pamannya (dia putera saudara perempuan La Salewangeng) ikut serta dengan tugas memegang tempat sirih raja. Sebagaimana lazimnya dilakukan di setiap pesta raja-raja Bugis-Makassar, diadakanlah ajang perlombaan perburuan rusa (maddenggeng) dan sambung ayam (mappabbitte).Pada saat berlangsungnya pesta sambung ayam tersebut, ayam putera Raja Bone mati dikalahkan oleh ayam Arung Matowa Wajo. Kemenangan itu tidak diakui oleh orang-orang Bone dan mereka berpendapat bahw pertarungan tersebut sama kuatnya. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya keributan. Pada saat itu La Maddukkelleng turut serta dalam perkelahian tersebut yang mengakibatkan korban di pihak Bone lebih banyak dibandingkan korban pihak Wajo. Lontarak Sukunna Wajo menyatakan bahwa pada waktu terjadi perkelahian tersebut, terjadi tikam menikam antara orang-orang Wajo-Bone di Cenrana, saat itu La Maddukkelleng baru saja disunat dan belum sembuh lukanya. Melihat kenyataan tersebut (karena mereka di wilayah kerajaan Bone), maka orang-orang Wajo segera melarikan diri melalui Sungai Walennae.
Setibanya Arung Matowa Wajo La Salewangeng di Tosora, maka datanglah utusan Raja Bone untuk meminta agar La Maddukkelleng diserahkan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya (dianggap bersalah). Arung Matowa Wajo mengatakan bahwa La Maddukkelleng tidak kembali ke Wajo sejak peristiwa di Cenrana. Utusan raja Bone itu kembali sekalipun ia yakin bahwa La Maddukkelleng masih berada di daerah Wajo, namun tidak dapat berbuat banyak karena adanya ikrar antara Bone, Soppeng dan Wajo di Timurung pada tahun 1582, bahwa tiga kerajaan itu harus saling mempercayai.
La Maddukkelleng datang menghadap dan meminta restu Arung Matowa Wajo dan Dewan Pemerintah Wajo (arung bentempola) untuk berlayar meninggalkan daerah Wajo. Saat itu bertepatan dengan selesainya pembangunan gedung tempat penyimpanan harta kekayaan di sebelah timur masjid Tosora serta gedung padi di tiga limpo. Anggota Dewan pemerintah Kerajaan Wajo (La Tenri Wija Daeng Situju) berpesan agar senantiasa mengingat negeri Wajo selama perantauan. Lalu La Maddukkelleng ditanya tentang bekal yang akan dibawa, ia menjawab bahwa ada tiga bekal yang akan dibawa serta yaitu: pertama lemahnya lidahku, kedua tajamnya ujung kerisku dan yang ketiga ujung kelaki-lakianku.
Dengan disertai pengikut-pengikutnya La Maddukkelleng berangkat dari Peneki dengan menggunakan perahu layar menuju Johor (Malaysia sekarang). Lontarak Sukunna Wajo memberitakan bahwa La Maddukkelleng dalam perjalanan bertemu dengan saudaranya bernama Daeng Matekko, seorang saudagar kaya Johor. Hal ini membuktikan bahwa lama sebelumnya orang-orang Wajo sudah merambah jauh negeri orang. La Maddukkelleng diperkirakan merantau pada masa akhir pemerintahan Raja Bone La Patauk Matanna Tikka Nyilinna Walinonoe, yang merangkap sebagai Datu Soppeng dan Ranreng Tuwa Wajo, sekitar tahun 1714
La Maddukkelleng di Perantauan
Dalam perjalanan rombongan tersebut, masih memegang adat tata dan norma kerajaan Wajo, La Maddukkelleng sebagai pimpinan. La Maddukkelleng mengangkat To Assa sebagai panglimanya. Mereka membangun armada laut yang terus mengacaukan pelayaran di Selat Makassar. Dalam perantauan ini juga La Maddukkelleng kawin dengan puteri Raja Pasir. Sementara itu salah seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai (Sultan Muhammad Idris).
Setelah sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone, tapi Wajo sudah siap dengan pasukan dan peralatan. Saat itu La Maddukkelleng menjadi Sultan Pasir, bertekad kembali ke Wajo memenuhi panggilan tanah leluhurnya, meskipun menghadapi banyak pertempuran.
Perjuangan dari Pasir kembali ke Wajo
Setelah itu La Maddukkelleng mengumpulkan kekuatan persenjataan dan armada yang berkekuatan perahu jenis bintak, perahu ini sengaja dipilih karena bisa cepat dan laju digerakkan. Perahu yang digunakan tersebut dilengkapi dengan meriam-meriam baru yang dibelinya dari orang-orang Inggris. Anggota pasukan La Maddukkelleng dibagi atas dua kelompok, yaitu pasukan laut (marinir) yang dipimpin oleh La Banna To Assa (kapitang laut) dan pasukan darat dipimpin oleh Panglima Puanna Pabbola dan Panglima Cambang Balolo. Pasukan istimewa tersebut seluruhnya merupakan orang-orang terlatih dan sangat berpengalaman dalam pertempuran laut dan darat di Semenanjung Malaya dan perairan antara Johor dengan Sulawesi. Pasukan ini terdiri atas suku Bugis, Pasir, Kutai, Makassar serta Bugis-Pagatan.
Armada La Maddukkelleng berangkat menuju Makassar melalui Mandar dan kemudian terlebih dahulu mampir di Pulau Sabutung. Dalam Desertasi Noorduyn dipaparkan bahwa dalam perjalanan menuju Makassar, dua kali armada La Maddukkelleng diserang oleh armada Belanda yaitu pada tanggal 8 Maret 1734 dan 12 Maret 1734. Dalam catatan Raja Tallo diberitakan bahwa armada Belanda yang terdiri dari enam buah perahu perang dapat dipukul mundur, perang ini berlangsung selama dua hari.
Lontarak Sukkuna Wajo menyatakan bahwa ketika armada La Maddukkelleng sedang berlayar antara pulau Lae-lae dan Rotterdam, pasukan Belanda yang berada di Benteng tersebut menembakinya dengan meriam-meriam. Armada La Maddukkelleng membalas tembakan meriam itu dengan gencar. Gubernur Makassar, Johan Santijn (1733-1737) mengirim satu pasukan orang-orang Belanda yang ditemani oleh Ancak Baeda Kapitang Melayu menuju pulau Lae-lae. Hampir seluruh pasukan tersebut ditewaskan oleh La Maddukkelleng bersama pasukannya. Melalui pelabuhan Gowa dia diterima oleh kawan seperjuangannya I Mappasempek Daeng Mamaro, Karaeng Bontolangkasa yang sebelumnya sudah dikirimi surat. Lalu kemudian Tumabbicara Butta (Mangkubumi) Kerajaan Gowa, I Megana juga datang menemui La Maddukkelleng. Kemudian diadakanlah pertemuan yang membicarakan rencana strategis dan taktik menghadapi tentara Belanda.
Setelah armada VOC tidak dapat mengalahkan armada La Maddukkelleng, mereka melanjutkan pelayaran menuju Bone dan tiba di Ujung Palette. Ratu Bone We Bataru Toja, yang merangkap jabatan Datu Soppeng, sejak tahun 1667 menjadi sekutu Belanda, mengirim pasukan untuk menghadang armada La Maddukkelleng, dan menyampaikan bahwa topasalanna Bone (orang bersalah terhadap Bone) dilarang masuk melalui sungai Cenrana. Suruhan La Maddukkelleng menyampaikan balasan bahwa La Maddukkelleng, Sultan Pasir, menghormati raja perempuan dan tidak akan melalui sungai Cenrana, tetapi melalui Doping (wilayah Wajo) ke Singkang. Dalam Musyawarah dengan Arum Pone (merangkap Datu Soppeng), Arung Matowa Wajo mendapat tekanan dari Raja Bone untuk menyerang dan tidak memberi kesempatan masuk. Arung Matowa Wajo menjawab bahwa berdasarkan perjanjian pemerintahan di Lapaddeppa antara Arung Saotanre La Tiringeng To Taba dengan rakyat Wajo (1476) yang berbunyi Wajo adalah negeri mereka dimana hak-hak asasi rakyat dijamin.
Dengan melalui proses negoisasi dan dengan persiapan yang mantap, La Maddukkelleng dengan pasukannya masuk melalui Doping. Tanggal 24 Mei 1736 ditambah dengan tambahan pasukan 100 (seratus) orang Wajo, sehingga diperkirakan kurang lebih 700 (tujuh ratus) orang ketika tiba di Singkang. Karena La Maddukkelleng masih menghormati Hukum Adat Tellumpoccoe (persekutuan antara Wajo, Soppeng dan Bone), dia berangkat ke Tosora untuk menghadiri persidangan dengan kawalan 1.000 orang. Tuduhan pun dibacakan yang isinya mengungkap tuduhan perbuatan La Maddukkelleng mulai dari sebab meninggalkan negeri Bugis sampai pertempuran yang dialaminya melawan Belanda. La Maddukkelleng lalu membela diri dengan alasan-alasan rasional dan menyadarkan akan posisi orang Bugis dihadapan Belanda. Karena demikian maka tidak mendapat tanggapan dari Majelis Pengadilan Tellumpoccoe.
La Maddukkelleng kemudian ke Peneki memangku jabatan Arung yang diwariskan ayahnya, namun dalam perjalanan tidak dapat dihindari terjadinya peperangan dengan kekalahan di pihak pasukan Bone. La Maddukkelleng dijuluki “petta Pamaradekangi Wajona To Wajoe” yang artinya tuan/orang yang memerdekakan tanah Wajo dan rakyatnya. Karena La Salewangeng (pemangku Arung Matowa Wajo) usianya sudah cukup lanjut untuk menyelesaikan segala persoalan, maka melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat), beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Pengangkatannya di Paria pada hari Selasa tanggal 8 November 1736. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo
sumber :http://ahmade.com/tokoh-bugis-la-maddukelleng/ Read More..
Kamis, 28 April 2011
INTEGRASI SOPPENG RILAU KE SOPPENG RIAJA HINGGA MUNCULNYA KERAJAAN SOPPENG
MUNCULNYA KERAJAAN SOPPENG
Oleh : H.A. Ahmad Saransi
Awal keberadaan
Dengan kemunculan Tomanurung dari Sekkanyili’ (Soppeng Riaja) dan Manurunnge dari Goarié (Kerajaan Soppeng Rilau) merupakan fase awal dari ketenangan dan ketentraman masyarakat Soppeng sejak dilanda kemarau yang panjang. Kehidupan masyarakat kedua kerajaan tersebut senantiasa tentram dan damai sebagaimana layaknya dua orang bersaudara kembar. Hal ini tidak mengherankan, karena Kerajaan Soppeng Riaja sebagai pusat aktifitas politik mampu membina secara harmonis hubungan politiknya dan kekeluargaan dengan kerajaan Soppeng Rilau.
Fase kedamaian ini berlangsung hingga kurang lebih 260 tahun lamanya, yaitu mulai tahun 1300 an sebagai masa awal Pemerintahan La Temmamala sebagai Datu I di Soppeng Riaja dan We Temmabubbu sebagai Datu I di Soppeng Rilau hingga terjadinya konflik perselisihan antara Datu La Mataesso Puang Lipué Patolaé dengan Datu La Makkarodda Latenribali masing-masing sebagai Datu di Soppeng Riaja dengan Soppeng Rilau.
Konflik
Menurut catatan dalam naskah lontara dikatakan bahwa, terjadinya konflik ini disebabkan keambisian La Makkarodda untuk menguasai wilayah Soppeng Riaja. Pertikaian ini meningkat menjadi perang saudara. Namun keambisian La Makkarodda ini tidak seluruh kerajaan lili-nya mendukung tindakan yang dilakukan La Makkarodda sehingga saat pecahnya perang saudara ini menyebabkan Kerajaan Soppeng Rilau mengalami kekalahan.
La Makkarodda sebagai Datu Soppeng Rilau tidak puas atas kekalahannya itu. Untuk membalas kekalahannya, dengan kekearasan hati ia terpaksa meninggalkan negerinya untuk mencari sekutu atau bala bantuan dari kerajaan tetangga.
Namun sebelum meninggalkan negerinya, telah datang perutusan dari Soppeng Riaja untuk meminta La Makkarodda agar sudihlah kiranya kembali ke negerinya untuk tetap memegang tampuk ke-Datu-an di Kerajaan Soppeng Rilau. Hal ini ditempu La Mata Esso untuk senantiasa menjaga persatuan dan kekeluargaan antara Kerajaan Sopeng Riaja dengan Kerajaan Soppeng Rilau.
Maksud baik La Mata Esso ditolak mentah-mentah oleh La Makkarodda, “Bessing Passuka, bessing topa parewekka” (saya keluar karena tombak (perang) maka saya pun hanya akan kembali dengan tombak (perang) pula). Itulah jawaban La Makkarodda terhadap perutusan itu hingga ia melanjutkan perjalanannya ke Kerajaan Bone untuk mencari persekutuan dan sekaligus meminta bantuan guna melawan kerajaan Soppeng Riaja. Akan tetapi setelah La Makkarodda mendekati kerajaan Bone, nampaknya niat itu tidak diterima dengan pertimbangan dari pihak Kerajaan Bone : “bila kami mendukung berarti memperpanjang konflik antara kerajaan Soppeng Riaja dengan Soppeng Rilau; disamping itu bila kami memberikan bantuan maka kelak Kerajaan Bone akan menjadi musuh dari Soppeng Riaja.”
Karena rencananya tidak diterima, maka La Makkarodda memutuskan untuk tinggal di wilayah kerajaan Bone hingga suatu ketika La Makkarodda memperistrikan We Tenripakkuwa saudari kandung Raja Bone La Tenrirawe Bongkanngé.
Perkawinan La Makkarodda dengan We Tenripakkuwa berimplikasi terbukanya suatu kesempatan dalam rangka ikatan persahabatan antara kerajaan Bone dengan kerajaan Soppeng. Hal ini tercermin dari ungkapan penasehat Kerajaan Bone Kajao Lalliddong, “Saya merasa senang atas kebijaksanaanmu (taneng-tanengmu) itu menjodohkan adik kandungmu dengan Datu Mario (La Makkadordda). Apabila nantinya ada anak keturunannya kembali ke negeri Soppeng, maka sedapat mungkin diadakan ikatan persaudaraan antara tanah Sopppeng dengan tanah Bone”.
Betapa besar penghargaan Kajao lalliddong selaku penasehat dan diplomat Kerajaan Bone ini untuk mempersaudarakan negeri dan rakyat Kerajaan Bone dengan negeri dan rakyat Kerajaan Soppeng jika kelak dikemudian hari.
Federasi Soppeng Rilau bergabung dengan Soppeng Riaja
Sementara berlangsungnya perselisihan antara Datu Soppeng Riaja La Mataesso dan Datu Soppeng Rilau La Makkkarodda, Arung Umpungeng datang menghadap Datu Soppeng Riaja. Namun sebelum pertemuannya dengan La Mataesso terlebih dahulu diterima oleh La Waniaga Arung Bila. Dalam pertemuan awal dengan Arung Bila itu, Arung Umpungeng menyatakan diri atas nama rakyat Umpungeng beralih ke Soppeng Riaja dan bernaung di bawah payung pemerintahan Datu Soppeng Riaja.
Disampaikan pula maksud kedatangannya, agar diberikan perlindungan oleh Soppeng Riaja, karena mereka tidak sudi bersekutu dengan orang yang berbuat kesalahan (maksudnya La Makkarodda), dan beliaupun bersumpah tidak akan menghianati La Mataesso. Maksud Kedatangan Arung Umpengeng tersebut kemudian disampaikan oleh Arung Bila kepada Datu Soppeng Riaja La Mataesso dan beliaupun bersedia menerimanya pada pertemuan tingkat resmi selanjutnya.
Pada pertemuan tingkat resmi antara Arung Umpungeng dengan La Mataesso, beliau berjanji dan memohon kepada La Mataesso kiranya beliau diperkenankan bernaung di bawah payung kekuasaan Soppeng Riaja dan tidak diperlakukan secara sewenang-wenang. Maksud baik itu diterima dengan penuh ketulusan hati oleh Datu Soppeng Riaja La Mataesso, maka diadakanlah jamuan bersama dengan meminum tuak, hal mana kemudian dijadikan dasar pihak Arung Umpungeng untuk mengucapkan sumpah setianya kepada La Mataesso, “Adapun tuak sudah kuminum, hendaknya janganlah keluar melalui mulut dan tidak pula dengan lubang dubur atau penis, akan tetapi biarkanlah keluar ke samping (usus yang sobek) jika sekiranya aku ingkar janji”. Itulah sumpah setia Arung Umpungeng di hadapan La Mataesso sebagaimana tercantum dalam naskah lontara, dan seketika itu daerah Umpungeng sah berada di bawah payung kekuasaan Soppeng Riaja.
Beralihnya Umpungeng ke dalam wilayah Soppeng Riaja dengan melalui perjanjian politik seperti tersebut di atas, dengan sendirinya secara langsung membawa pengaruh yang sangat berarti dalam proses perkembangan politik dalam negeri Kerajaan Soppeng Rilau. Diantaranya, semakin lemahnya potensi dan kekuatan Soppeng Rilau, sementara kerajaan Soppeng Riaja menjadi semakin kuat. Dengan demikian akhirnya Kerajaan Soppeng Rilau mengalami kekalahan.
Intergrasi
Berkali-kali Datu Soppeng Riaja La Mataesso menempu upaya pedamaian dengan Datu Soppeng Rilau La Makkarodda. Upaya pertama sebagaimana telah dikemukakan di atas, namun upaya itu selalu ditolaknya dengan kekerasan hati. Penolakan ini dilandasi oleh keyakinannya bahwa ia mampu mengalahkan nanti Soppeng Riaja setelah mendapatkan bantuan dari kerajaan Bone mengingat kerajaan Bone waktu itu disamping kerajaan tentangga juga merupakan kerajaan yang sangat berpengaruh dan cukup kuat dari segi pertahanan. Namun bantuan yang diimpikan itu tidak mendapat sambutan dari raja dan para bangsawan di Kerjaan Bone.
Dengan perasaan sangat kecewa Datu La Makkarodda memutuskan untuk tinggal di Kerajaan Bone atas izin Raja Bone La Tenrirawe Bongkannge.
Kemudian tawaran perdamaian kedua diajukan kepadanya untuk kembali memimpin kerajaan Soppeng Rilau setelah La Makkarodda berhasil mempersunting adik kandung Raja Bone La Tenrirawe. Niat baik berdamai ini ditolaknya dengan alasan demi menjaga terjadinya perselisihan dan pertikaian yang mungkin terulang lagi apabila beliau tetap memegang tampuk pemerintahan di Kerajaan Soppeng Rilau.
Perudingan perdamaian pertama dan kedua itu selalu ditawarkan atas inisiatif Datu Soppeng Riaja La Mataesso. Kenapa justru La Mataesso selalu menawarkan perdamaian kepada Datu Soppeng Rilau La Makkarodda untuk kembali memerintah Soppeng Rilau?. Disinilah tercermin bagaimana sikap dan kecintaan Datu Sopeng Riaja yang tetap berusaha menjaga persatuan dan kedamaian antara dua kerajaan. Disamping itu ia berusaha menghindari terjadinya peperangan yang meluas dan berkepanjangan itu dengan melibatkan pihak luar yaitu kerajaan Bone.
Namun dalam perkembangan selanjutnya ketika perundingan ketiga terjadi sangat berbeda sebelumnya, karena ternyata atas inisiatif Datu Soppeng Rilau La Makkarodda sendiri yang berinisiatif untuk melakukan perdamaian dengan Soppeng Riaja. Kesungguhan hati La Makkarodda untuk berdamai dengan La Mataesso dapat disimak dari makna sumpah dan janjinnya ketika bertemu dengan Topaccaleppa Taautongennge (penasehat kerajaan) dan juga ketika beliau bertemu dengan Datu La Mataesso. Dalam pertemuannya itu, beliau bersumpah dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya yang sudah berlalu, yakni berniat tidak baik terhadap Kerajaan Soppeng Riaja, bahkan beliau juga mengajukan permohonan untuk kembali bermukim di Wilayah Kerajaan Soppeng tanpa memegang jabatan dan kedudukan apa pun. Mengenai soal tahta kerajaan di Soppeng baik di Soppeng Rilau maupun di Soppeng Riaja beliau juga berpesan kepada seluruh anak keturunannya kelak agar tidak menginginkannya lagi. Akan tetapi pada waktu itu tiba-tiba Datu Soppeng Riaja La Mataesso memegang tangannya La Makkarodda, sambil berkata, “saya kecualikan apabila terjalin ikatan tali perkawinan di antara anak cucu kita kelak di kemudian hari”.
Selanjutnya, pada waktu yang telah ditentukan, bersidanglah Dewan Adat yang dihadiri oleh rakyat dari Soppeng Rilau dan Soppeng Riaja. Dari pertemuan tersebut mereka melakukan upacara Mallamung Patue sebagai simbol ikatan perjanjian persahabatan antara La Makkarodda dan La Mataesso yang kemudian ditanam secara bersama-sama yang dipersaksikan kepada Dewata Seuwae (Tuhan Yang Esa) dan keduanya berjanji’ “Barangsiapa di antara kita yang ingkar janji, maka akan ditindih oleh batu itu serta tidak akan mendapatkan kebaikan sampai kepada anak keturunannya kelak”.
Dengan selesainya tahapan perjanjian perdamaian yang ketiga antara La Makkarodda dengan Lamataesso maka Soppeng memasuki era baru, yakni ditandai dengan berakhirnya kerajaan kembar di Soppeng dan selanjutnya menjadi satu kesatuan tunggal (mabbulo peppa) di bawah satu panji kebesaran dan satu orang raja berdaulat sebagai pemegang tampuk pemerintahan yaitu, “Kerajaan Soppeng”.
Sebagai hasil keputusan Dewan Adat maka diangkatlah La Mataesso Puang Lipue Patolae sebagai Datu Soppeng Bersatu (1560) dan La Makkarodda Totenribali diangkat menjadi pangepa’ (Perdana Menteri) Kerajaan Soppeng. Setelah kerajaan Soppeng Rilau berintegrasi dengan Soppeng Riaja, maka pusat kerajaan dipusatkan di Laleng Benteng.
Integrasi Kerajaan Soppeng Rilau ke dalam Soppeng Riaja, merupakan suatu proses penyatuan komponen-komponen sosial kultural yang berbeda-beda kedalam satu hubungan dan jalinan yang terintegrasi serta menjadi kebulatan yang utuh untuk mencapai suatu identitas baru sebagai suatu kerajaan yang bersatu. Ini berarti, bahwa integrasi bukanlah merupakan konkolusi dari komponen-komponen yang berbeda-beda saja, tetapi juga yang paling esensial adalah semangat laten dan konkret yang dapat dimanifestasikan ke dalam suatu tindakan nyata untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu “perdamaian”.
Refleksi
ketika dalam kondisi kekinian dalam menghadapi PILKADA Soppeng yang akan berlangsung tahun 2010, aroma perang saudara itu kembali diherhembuskan untuk mendapatkan kepentingan sesat, maka kita harus merefleksi diri untuk arif dan bijak melihat realitas obyektifnya bahwa persoalan itu sudah final dan kita tidak boleh lagi mengorek luka lama yang sudah sembuh. Perang terkadang tidak boleh diartikan sebagai sebagai akibat dari luapan politik tetapi “hukum masyarakat”, sesuatu yang harus terjadi sebagai jembatan bagi suatu proses perubahan masyarakat. “assyabiyah” perubahan kata ibnu kaldun dalam bukunya Muqaddimah.
Kita tidak boleh melihat peristiwanya, melainkan kita harus menarik hikmah dibalik peristiwa yang pada masa lampu tersebut. Bukankah sejarah adalah guru kehidupan ? (Historya Magistra Vitae).
Dari perang saudara yang pernah terjadi itu telah mengajarkan kita tiga hal :
1. Antara La Makkarodda dan Mataesso adalah pemimpin yang visioner, mampu melihat ke depan bagaimana membuat perencanaan strategis jangka panjang agar kedua rumpun rakyatnya kian maju, bukan terprosok mundur ke lembah perang saudara. Keduanya telah berpikir jauh menembus batas kepentingan generasinya. Capaian visinya tergambar dari kerelaan meleburkan kedua identias kerajaannya menjadi kerajaan Soppeng.
2. Mampu menggerakkan orang-orang terdekatnya sehingga muncul teamwork yang solid dan antusias untuk melaksanakan visinya.
3. Keduanya memiliki inisiatif yang bisa dijelaskan kepada orang lain sehingga memperoleh dukungan luas dari rakyatnya.
Olehnya itu, saya sangat prihatin bila hal perang saudara itu dijadikan komoditas politik untuk merai kepentingan sesaat, bila hal ini benar terjadi maka orang Soppeng telah melakukan pengingkaran nilai sejarahnya yang sudah mapan, dan lebih daripada itu, saya berani mengatakan bahwa, kini orang Soppeng telah mengalami degradasi pemikiran politik ke jaman primitf.
Perlu kita sadari bersama bahwa pendekian masyarakat Soppeng masih jauh, ritual PILKADA dari waktu kewaktu harus dilaksanakan karena merupakan prasyarat tegaknya demokrasi. Namun, ribut-ribut politik dan demokrasi tanpa visi, program strategis jangka panjang dan minus actor politik yang berkualitas hanya akan menghabiskan energi.
Semoga suhu politik yang mulai memanas akan melahirkan pikiran cerdas, visioner, dan mendorong tampilnya putra-putra Soppeng yang segar dan terbaik.
H. A. Ahmad Saransi
Peraih Celebes Awards 2007
Read More..
Oleh : H.A. Ahmad Saransi
Awal keberadaan
Dengan kemunculan Tomanurung dari Sekkanyili’ (Soppeng Riaja) dan Manurunnge dari Goarié (Kerajaan Soppeng Rilau) merupakan fase awal dari ketenangan dan ketentraman masyarakat Soppeng sejak dilanda kemarau yang panjang. Kehidupan masyarakat kedua kerajaan tersebut senantiasa tentram dan damai sebagaimana layaknya dua orang bersaudara kembar. Hal ini tidak mengherankan, karena Kerajaan Soppeng Riaja sebagai pusat aktifitas politik mampu membina secara harmonis hubungan politiknya dan kekeluargaan dengan kerajaan Soppeng Rilau.
Fase kedamaian ini berlangsung hingga kurang lebih 260 tahun lamanya, yaitu mulai tahun 1300 an sebagai masa awal Pemerintahan La Temmamala sebagai Datu I di Soppeng Riaja dan We Temmabubbu sebagai Datu I di Soppeng Rilau hingga terjadinya konflik perselisihan antara Datu La Mataesso Puang Lipué Patolaé dengan Datu La Makkarodda Latenribali masing-masing sebagai Datu di Soppeng Riaja dengan Soppeng Rilau.
Konflik
Menurut catatan dalam naskah lontara dikatakan bahwa, terjadinya konflik ini disebabkan keambisian La Makkarodda untuk menguasai wilayah Soppeng Riaja. Pertikaian ini meningkat menjadi perang saudara. Namun keambisian La Makkarodda ini tidak seluruh kerajaan lili-nya mendukung tindakan yang dilakukan La Makkarodda sehingga saat pecahnya perang saudara ini menyebabkan Kerajaan Soppeng Rilau mengalami kekalahan.
La Makkarodda sebagai Datu Soppeng Rilau tidak puas atas kekalahannya itu. Untuk membalas kekalahannya, dengan kekearasan hati ia terpaksa meninggalkan negerinya untuk mencari sekutu atau bala bantuan dari kerajaan tetangga.
Namun sebelum meninggalkan negerinya, telah datang perutusan dari Soppeng Riaja untuk meminta La Makkarodda agar sudihlah kiranya kembali ke negerinya untuk tetap memegang tampuk ke-Datu-an di Kerajaan Soppeng Rilau. Hal ini ditempu La Mata Esso untuk senantiasa menjaga persatuan dan kekeluargaan antara Kerajaan Sopeng Riaja dengan Kerajaan Soppeng Rilau.
Maksud baik La Mata Esso ditolak mentah-mentah oleh La Makkarodda, “Bessing Passuka, bessing topa parewekka” (saya keluar karena tombak (perang) maka saya pun hanya akan kembali dengan tombak (perang) pula). Itulah jawaban La Makkarodda terhadap perutusan itu hingga ia melanjutkan perjalanannya ke Kerajaan Bone untuk mencari persekutuan dan sekaligus meminta bantuan guna melawan kerajaan Soppeng Riaja. Akan tetapi setelah La Makkarodda mendekati kerajaan Bone, nampaknya niat itu tidak diterima dengan pertimbangan dari pihak Kerajaan Bone : “bila kami mendukung berarti memperpanjang konflik antara kerajaan Soppeng Riaja dengan Soppeng Rilau; disamping itu bila kami memberikan bantuan maka kelak Kerajaan Bone akan menjadi musuh dari Soppeng Riaja.”
Karena rencananya tidak diterima, maka La Makkarodda memutuskan untuk tinggal di wilayah kerajaan Bone hingga suatu ketika La Makkarodda memperistrikan We Tenripakkuwa saudari kandung Raja Bone La Tenrirawe Bongkanngé.
Perkawinan La Makkarodda dengan We Tenripakkuwa berimplikasi terbukanya suatu kesempatan dalam rangka ikatan persahabatan antara kerajaan Bone dengan kerajaan Soppeng. Hal ini tercermin dari ungkapan penasehat Kerajaan Bone Kajao Lalliddong, “Saya merasa senang atas kebijaksanaanmu (taneng-tanengmu) itu menjodohkan adik kandungmu dengan Datu Mario (La Makkadordda). Apabila nantinya ada anak keturunannya kembali ke negeri Soppeng, maka sedapat mungkin diadakan ikatan persaudaraan antara tanah Sopppeng dengan tanah Bone”.
Betapa besar penghargaan Kajao lalliddong selaku penasehat dan diplomat Kerajaan Bone ini untuk mempersaudarakan negeri dan rakyat Kerajaan Bone dengan negeri dan rakyat Kerajaan Soppeng jika kelak dikemudian hari.
Federasi Soppeng Rilau bergabung dengan Soppeng Riaja
Sementara berlangsungnya perselisihan antara Datu Soppeng Riaja La Mataesso dan Datu Soppeng Rilau La Makkkarodda, Arung Umpungeng datang menghadap Datu Soppeng Riaja. Namun sebelum pertemuannya dengan La Mataesso terlebih dahulu diterima oleh La Waniaga Arung Bila. Dalam pertemuan awal dengan Arung Bila itu, Arung Umpungeng menyatakan diri atas nama rakyat Umpungeng beralih ke Soppeng Riaja dan bernaung di bawah payung pemerintahan Datu Soppeng Riaja.
Disampaikan pula maksud kedatangannya, agar diberikan perlindungan oleh Soppeng Riaja, karena mereka tidak sudi bersekutu dengan orang yang berbuat kesalahan (maksudnya La Makkarodda), dan beliaupun bersumpah tidak akan menghianati La Mataesso. Maksud Kedatangan Arung Umpengeng tersebut kemudian disampaikan oleh Arung Bila kepada Datu Soppeng Riaja La Mataesso dan beliaupun bersedia menerimanya pada pertemuan tingkat resmi selanjutnya.
Pada pertemuan tingkat resmi antara Arung Umpungeng dengan La Mataesso, beliau berjanji dan memohon kepada La Mataesso kiranya beliau diperkenankan bernaung di bawah payung kekuasaan Soppeng Riaja dan tidak diperlakukan secara sewenang-wenang. Maksud baik itu diterima dengan penuh ketulusan hati oleh Datu Soppeng Riaja La Mataesso, maka diadakanlah jamuan bersama dengan meminum tuak, hal mana kemudian dijadikan dasar pihak Arung Umpungeng untuk mengucapkan sumpah setianya kepada La Mataesso, “Adapun tuak sudah kuminum, hendaknya janganlah keluar melalui mulut dan tidak pula dengan lubang dubur atau penis, akan tetapi biarkanlah keluar ke samping (usus yang sobek) jika sekiranya aku ingkar janji”. Itulah sumpah setia Arung Umpungeng di hadapan La Mataesso sebagaimana tercantum dalam naskah lontara, dan seketika itu daerah Umpungeng sah berada di bawah payung kekuasaan Soppeng Riaja.
Beralihnya Umpungeng ke dalam wilayah Soppeng Riaja dengan melalui perjanjian politik seperti tersebut di atas, dengan sendirinya secara langsung membawa pengaruh yang sangat berarti dalam proses perkembangan politik dalam negeri Kerajaan Soppeng Rilau. Diantaranya, semakin lemahnya potensi dan kekuatan Soppeng Rilau, sementara kerajaan Soppeng Riaja menjadi semakin kuat. Dengan demikian akhirnya Kerajaan Soppeng Rilau mengalami kekalahan.
Intergrasi
Berkali-kali Datu Soppeng Riaja La Mataesso menempu upaya pedamaian dengan Datu Soppeng Rilau La Makkarodda. Upaya pertama sebagaimana telah dikemukakan di atas, namun upaya itu selalu ditolaknya dengan kekerasan hati. Penolakan ini dilandasi oleh keyakinannya bahwa ia mampu mengalahkan nanti Soppeng Riaja setelah mendapatkan bantuan dari kerajaan Bone mengingat kerajaan Bone waktu itu disamping kerajaan tentangga juga merupakan kerajaan yang sangat berpengaruh dan cukup kuat dari segi pertahanan. Namun bantuan yang diimpikan itu tidak mendapat sambutan dari raja dan para bangsawan di Kerjaan Bone.
Dengan perasaan sangat kecewa Datu La Makkarodda memutuskan untuk tinggal di Kerajaan Bone atas izin Raja Bone La Tenrirawe Bongkannge.
Kemudian tawaran perdamaian kedua diajukan kepadanya untuk kembali memimpin kerajaan Soppeng Rilau setelah La Makkarodda berhasil mempersunting adik kandung Raja Bone La Tenrirawe. Niat baik berdamai ini ditolaknya dengan alasan demi menjaga terjadinya perselisihan dan pertikaian yang mungkin terulang lagi apabila beliau tetap memegang tampuk pemerintahan di Kerajaan Soppeng Rilau.
Perudingan perdamaian pertama dan kedua itu selalu ditawarkan atas inisiatif Datu Soppeng Riaja La Mataesso. Kenapa justru La Mataesso selalu menawarkan perdamaian kepada Datu Soppeng Rilau La Makkarodda untuk kembali memerintah Soppeng Rilau?. Disinilah tercermin bagaimana sikap dan kecintaan Datu Sopeng Riaja yang tetap berusaha menjaga persatuan dan kedamaian antara dua kerajaan. Disamping itu ia berusaha menghindari terjadinya peperangan yang meluas dan berkepanjangan itu dengan melibatkan pihak luar yaitu kerajaan Bone.
Namun dalam perkembangan selanjutnya ketika perundingan ketiga terjadi sangat berbeda sebelumnya, karena ternyata atas inisiatif Datu Soppeng Rilau La Makkarodda sendiri yang berinisiatif untuk melakukan perdamaian dengan Soppeng Riaja. Kesungguhan hati La Makkarodda untuk berdamai dengan La Mataesso dapat disimak dari makna sumpah dan janjinnya ketika bertemu dengan Topaccaleppa Taautongennge (penasehat kerajaan) dan juga ketika beliau bertemu dengan Datu La Mataesso. Dalam pertemuannya itu, beliau bersumpah dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya yang sudah berlalu, yakni berniat tidak baik terhadap Kerajaan Soppeng Riaja, bahkan beliau juga mengajukan permohonan untuk kembali bermukim di Wilayah Kerajaan Soppeng tanpa memegang jabatan dan kedudukan apa pun. Mengenai soal tahta kerajaan di Soppeng baik di Soppeng Rilau maupun di Soppeng Riaja beliau juga berpesan kepada seluruh anak keturunannya kelak agar tidak menginginkannya lagi. Akan tetapi pada waktu itu tiba-tiba Datu Soppeng Riaja La Mataesso memegang tangannya La Makkarodda, sambil berkata, “saya kecualikan apabila terjalin ikatan tali perkawinan di antara anak cucu kita kelak di kemudian hari”.
Selanjutnya, pada waktu yang telah ditentukan, bersidanglah Dewan Adat yang dihadiri oleh rakyat dari Soppeng Rilau dan Soppeng Riaja. Dari pertemuan tersebut mereka melakukan upacara Mallamung Patue sebagai simbol ikatan perjanjian persahabatan antara La Makkarodda dan La Mataesso yang kemudian ditanam secara bersama-sama yang dipersaksikan kepada Dewata Seuwae (Tuhan Yang Esa) dan keduanya berjanji’ “Barangsiapa di antara kita yang ingkar janji, maka akan ditindih oleh batu itu serta tidak akan mendapatkan kebaikan sampai kepada anak keturunannya kelak”.
Dengan selesainya tahapan perjanjian perdamaian yang ketiga antara La Makkarodda dengan Lamataesso maka Soppeng memasuki era baru, yakni ditandai dengan berakhirnya kerajaan kembar di Soppeng dan selanjutnya menjadi satu kesatuan tunggal (mabbulo peppa) di bawah satu panji kebesaran dan satu orang raja berdaulat sebagai pemegang tampuk pemerintahan yaitu, “Kerajaan Soppeng”.
Sebagai hasil keputusan Dewan Adat maka diangkatlah La Mataesso Puang Lipue Patolae sebagai Datu Soppeng Bersatu (1560) dan La Makkarodda Totenribali diangkat menjadi pangepa’ (Perdana Menteri) Kerajaan Soppeng. Setelah kerajaan Soppeng Rilau berintegrasi dengan Soppeng Riaja, maka pusat kerajaan dipusatkan di Laleng Benteng.
Integrasi Kerajaan Soppeng Rilau ke dalam Soppeng Riaja, merupakan suatu proses penyatuan komponen-komponen sosial kultural yang berbeda-beda kedalam satu hubungan dan jalinan yang terintegrasi serta menjadi kebulatan yang utuh untuk mencapai suatu identitas baru sebagai suatu kerajaan yang bersatu. Ini berarti, bahwa integrasi bukanlah merupakan konkolusi dari komponen-komponen yang berbeda-beda saja, tetapi juga yang paling esensial adalah semangat laten dan konkret yang dapat dimanifestasikan ke dalam suatu tindakan nyata untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu “perdamaian”.
Refleksi
ketika dalam kondisi kekinian dalam menghadapi PILKADA Soppeng yang akan berlangsung tahun 2010, aroma perang saudara itu kembali diherhembuskan untuk mendapatkan kepentingan sesat, maka kita harus merefleksi diri untuk arif dan bijak melihat realitas obyektifnya bahwa persoalan itu sudah final dan kita tidak boleh lagi mengorek luka lama yang sudah sembuh. Perang terkadang tidak boleh diartikan sebagai sebagai akibat dari luapan politik tetapi “hukum masyarakat”, sesuatu yang harus terjadi sebagai jembatan bagi suatu proses perubahan masyarakat. “assyabiyah” perubahan kata ibnu kaldun dalam bukunya Muqaddimah.
Kita tidak boleh melihat peristiwanya, melainkan kita harus menarik hikmah dibalik peristiwa yang pada masa lampu tersebut. Bukankah sejarah adalah guru kehidupan ? (Historya Magistra Vitae).
Dari perang saudara yang pernah terjadi itu telah mengajarkan kita tiga hal :
1. Antara La Makkarodda dan Mataesso adalah pemimpin yang visioner, mampu melihat ke depan bagaimana membuat perencanaan strategis jangka panjang agar kedua rumpun rakyatnya kian maju, bukan terprosok mundur ke lembah perang saudara. Keduanya telah berpikir jauh menembus batas kepentingan generasinya. Capaian visinya tergambar dari kerelaan meleburkan kedua identias kerajaannya menjadi kerajaan Soppeng.
2. Mampu menggerakkan orang-orang terdekatnya sehingga muncul teamwork yang solid dan antusias untuk melaksanakan visinya.
3. Keduanya memiliki inisiatif yang bisa dijelaskan kepada orang lain sehingga memperoleh dukungan luas dari rakyatnya.
Olehnya itu, saya sangat prihatin bila hal perang saudara itu dijadikan komoditas politik untuk merai kepentingan sesaat, bila hal ini benar terjadi maka orang Soppeng telah melakukan pengingkaran nilai sejarahnya yang sudah mapan, dan lebih daripada itu, saya berani mengatakan bahwa, kini orang Soppeng telah mengalami degradasi pemikiran politik ke jaman primitf.
Perlu kita sadari bersama bahwa pendekian masyarakat Soppeng masih jauh, ritual PILKADA dari waktu kewaktu harus dilaksanakan karena merupakan prasyarat tegaknya demokrasi. Namun, ribut-ribut politik dan demokrasi tanpa visi, program strategis jangka panjang dan minus actor politik yang berkualitas hanya akan menghabiskan energi.
Semoga suhu politik yang mulai memanas akan melahirkan pikiran cerdas, visioner, dan mendorong tampilnya putra-putra Soppeng yang segar dan terbaik.
H. A. Ahmad Saransi
Peraih Celebes Awards 2007
Read More..
Kamis, 20 Januari 2011
Asal Usul Raja Bugis
Dipercaya bahwa asal-usul raja-raja di Sulawesi Selatan berasal dari To Manurung(orang bunian) manusia yang berasal dari langit, turun ke bumi. To Manurung ini membawa segala kebesaran, kehormatan, dan kesaktiannya. Menurut riwayat kuno, daratan Sulawesi mengalami 3 kali kedatangan To Manurung. Siapa saja mereka?
PERISTIWA ‘pendaratan’ pertama:
dipercaya bahwa yang mula-mula menjejakkan kakinya di daratan Sulawesi ialah “Tamboro Langi”. Lelaki perkasa ini berdiri di puncak gunung Latimojong. Ketika itu, daratan Sulawesi masih tergenang air, hanya puncak gunung Lompobattang yang mencuat di sebelah selatan, dan puncak gunung Latimojong di tengah-tengah.
Tamboro Langi lalu memproklamirkan diri sebagai utusan dari langit untuk memimpin manusia. Dengan kata lain, dia mengangkat dirinya sebagai raja dan rakyat harus tunduk padanya.
Tamboro Langi kawin dengan Tande Bilik, yaitu seorang dewi yang muncul dari busa air sungai Saddang. Puteranya yang sulung bernama Sandaboro, beranakkan La Kipadada. La Kipadada inilah yang membangun 3 buah kerajaan besar, yakni: di Rongkong asal mulanya kerajaan Toraja, di Luwu asal mulanya kerajan Bugis, dan di Gowa asal mulanya kerajaan Makassar.
Laksana garis nasib setiap peradaban, setelah keturunannya mengalami masa kejayaan, kerajaan-kerajaan tersebut mengalami kemunduran yang berakibat kekacauan.
Untuk mengatasi kekacauan ini, ‘pendaratan’ kedua terjadi. Kali ini yang diutus masih seorang laki-laki bernama Batara Guru. Batara Guru kawin dengan We Nyilitimo, puteri dari Pertiwi (Bumi bawah) dan memperoleh putera yang diberi nama Batara Lattu. Batara Lattu kawin dengan We Opu Sengngeng, puteri dari Masyrik. Dari perkawinan mereka ini maka lahirlah puteranya yang bernama Sawerigading.
Sawerigading membentuk sebuah kerajaan besar (negara) yaitu kerajan Luwu di Palopo, yang di bawahnya terdiri dari kerajaan-kerajaan yang masing-masing merdeka dan berdaulat, seperti: Kerajaan Toraja, Palu, Ternate, Bone, Gowa, dll.
Kejayaan masa Sawerigading menemui pula kemunduran dan berakhir vakum; tujuh turunan lamanya tak ada raja si Sulawesi Selatan yang memerintah, sehingga yang memegang pemerintahan hanya penduduk isi dunia yang asli.
‘Pendaratan’ ketiga pun akhirnya tiba. Namun pendaratan kali ini terdapat beberapa orang To Manurung sekaligus pada beberapa tempat di tanah yang berbeda-beda, seperti di Toraja, Luwu, Bugis, dan Makassar, yang menjadi pokok asal raja-raja yang memangku kerajaan hingga saat ini.
To Manurung di Luwu bernama Sempurusiang, kawin dengan Pattiajala, puteri yang muncul dari air. To manurung di Bone bernama Matasilompoe, kawin dengan To Manurung perempuan di Toro. To Manurung di Gowa adalah seorang perempuan, kawin dengan Karaeng Bayo dari Pertiwi. To Manurung di Bacukiki memperistrikan To Manurung di Lawaramparang, dan turunannya menjadi raja di tanah-tanah sebelah barat danau Tempe (Ajatapparang) dan di sepanjang lereng gunung (Massinrinpulu).
Lalu, bagaimana corak pemerintahan mereka? Era Tamboro Langi’ adalah era pemerintahan yang absolute monarchi, yaitu kehendak raja saja yang jadi; rakyat cuma tahu tunduk dan menerima titah raja. Sementara pada peristiwa To manurung ketiga, corak pemerintahannya sudah agak demokrasi mesti diakui belum sempurna.
Peribahasa Bugis menyebutkan: “Makkeda tenribali, mette tenrisumpalang.” Artinya: “Berkata tak dapat dilawan, menyahut tak dapat disalahkan”. Gambaran akan sifat Absolute monarchie; apa yang dikatakan raja, itulah yang benar.
Namun sedikit berbeda ketika kejadian To Manurung di Gowa. Ketika To manurung menjejakkan kakinya di Tamalate, Patcallaya atas nama rakyat Gowa datang ke hadapan To Manurung, dan berkata: “Ana’mang, bainemang, iapa nakulle nipela, punna buttaya angkaeroki.” Artinya: Anak kami, istri kami, hanya dapat disingkirkan kalau tanah (rakyat) yang menghendaki.
Nampak di sini sifat-sifat demokrasi yang mulai berkembang ketika itu, bahwa seorang raja tidak bisa berbuat semaunya saja tanpa persetujuan adat. Hal ini dikuatkan oleh bukti ketika Tepu Karaeng Daeng Tarabung, Karaeng Bontolangkasa, raja Gowa ke XIII (1590-1593) diterjang gelombang pemberontakan oleh rakyatnya sendiri, lantaran memerintah secara zalim. Beliau ‘diusir’ dari kerajaannya pada tahun 1593.
sumber : rappang.com
Read More..
PERISTIWA ‘pendaratan’ pertama:
dipercaya bahwa yang mula-mula menjejakkan kakinya di daratan Sulawesi ialah “Tamboro Langi”. Lelaki perkasa ini berdiri di puncak gunung Latimojong. Ketika itu, daratan Sulawesi masih tergenang air, hanya puncak gunung Lompobattang yang mencuat di sebelah selatan, dan puncak gunung Latimojong di tengah-tengah.
Tamboro Langi lalu memproklamirkan diri sebagai utusan dari langit untuk memimpin manusia. Dengan kata lain, dia mengangkat dirinya sebagai raja dan rakyat harus tunduk padanya.
Tamboro Langi kawin dengan Tande Bilik, yaitu seorang dewi yang muncul dari busa air sungai Saddang. Puteranya yang sulung bernama Sandaboro, beranakkan La Kipadada. La Kipadada inilah yang membangun 3 buah kerajaan besar, yakni: di Rongkong asal mulanya kerajaan Toraja, di Luwu asal mulanya kerajan Bugis, dan di Gowa asal mulanya kerajaan Makassar.
Laksana garis nasib setiap peradaban, setelah keturunannya mengalami masa kejayaan, kerajaan-kerajaan tersebut mengalami kemunduran yang berakibat kekacauan.
Untuk mengatasi kekacauan ini, ‘pendaratan’ kedua terjadi. Kali ini yang diutus masih seorang laki-laki bernama Batara Guru. Batara Guru kawin dengan We Nyilitimo, puteri dari Pertiwi (Bumi bawah) dan memperoleh putera yang diberi nama Batara Lattu. Batara Lattu kawin dengan We Opu Sengngeng, puteri dari Masyrik. Dari perkawinan mereka ini maka lahirlah puteranya yang bernama Sawerigading.
Sawerigading membentuk sebuah kerajaan besar (negara) yaitu kerajan Luwu di Palopo, yang di bawahnya terdiri dari kerajaan-kerajaan yang masing-masing merdeka dan berdaulat, seperti: Kerajaan Toraja, Palu, Ternate, Bone, Gowa, dll.
Kejayaan masa Sawerigading menemui pula kemunduran dan berakhir vakum; tujuh turunan lamanya tak ada raja si Sulawesi Selatan yang memerintah, sehingga yang memegang pemerintahan hanya penduduk isi dunia yang asli.
‘Pendaratan’ ketiga pun akhirnya tiba. Namun pendaratan kali ini terdapat beberapa orang To Manurung sekaligus pada beberapa tempat di tanah yang berbeda-beda, seperti di Toraja, Luwu, Bugis, dan Makassar, yang menjadi pokok asal raja-raja yang memangku kerajaan hingga saat ini.
To Manurung di Luwu bernama Sempurusiang, kawin dengan Pattiajala, puteri yang muncul dari air. To manurung di Bone bernama Matasilompoe, kawin dengan To Manurung perempuan di Toro. To Manurung di Gowa adalah seorang perempuan, kawin dengan Karaeng Bayo dari Pertiwi. To Manurung di Bacukiki memperistrikan To Manurung di Lawaramparang, dan turunannya menjadi raja di tanah-tanah sebelah barat danau Tempe (Ajatapparang) dan di sepanjang lereng gunung (Massinrinpulu).
Lalu, bagaimana corak pemerintahan mereka? Era Tamboro Langi’ adalah era pemerintahan yang absolute monarchi, yaitu kehendak raja saja yang jadi; rakyat cuma tahu tunduk dan menerima titah raja. Sementara pada peristiwa To manurung ketiga, corak pemerintahannya sudah agak demokrasi mesti diakui belum sempurna.
Peribahasa Bugis menyebutkan: “Makkeda tenribali, mette tenrisumpalang.” Artinya: “Berkata tak dapat dilawan, menyahut tak dapat disalahkan”. Gambaran akan sifat Absolute monarchie; apa yang dikatakan raja, itulah yang benar.
Namun sedikit berbeda ketika kejadian To Manurung di Gowa. Ketika To manurung menjejakkan kakinya di Tamalate, Patcallaya atas nama rakyat Gowa datang ke hadapan To Manurung, dan berkata: “Ana’mang, bainemang, iapa nakulle nipela, punna buttaya angkaeroki.” Artinya: Anak kami, istri kami, hanya dapat disingkirkan kalau tanah (rakyat) yang menghendaki.
Nampak di sini sifat-sifat demokrasi yang mulai berkembang ketika itu, bahwa seorang raja tidak bisa berbuat semaunya saja tanpa persetujuan adat. Hal ini dikuatkan oleh bukti ketika Tepu Karaeng Daeng Tarabung, Karaeng Bontolangkasa, raja Gowa ke XIII (1590-1593) diterjang gelombang pemberontakan oleh rakyatnya sendiri, lantaran memerintah secara zalim. Beliau ‘diusir’ dari kerajaannya pada tahun 1593.
sumber : rappang.com
Read More..
Selasa, 11 Januari 2011
ARU PALAKKA PUTRA BUGIS
Arung Palakka (lahir di lamatta, mario-ri wawo, soppeng , 15 september 1634 wafat di bontoala 6 april 1696 dalam usia 61 tahun) adalah sultan bone dari tahun 1972-1696. Saat masih jadi pangeran, ia memimpin kerajaannya dalam meraih kemerdekaan dari kesultanan gowa pada tahun 1660-an. Ia bekerjasama dengan belanda dalam merebut kota makassar.
Palakka membawa suku bugis menjadi kekuatan maritim besar dan mendominasi kawasan tersebut selama hampir seabad. Arung Palakka bergelar “La Tan-ri tatta To urong To-ri SompaE Petta MalampE’E Gemme’na Daeng Serang To’ Appatunru Paduka Sri Sultan Sa’admuddin, [MatinroE-ri Bontoawala], Arung Bone.
BIOGRAFI
Lahir di lamatta, Mario ri Wawo, Soppeng, Tanggal 15 september 1634, anak dari Lapottobunna, Arung Tanah Tengnga dengan istrinya, We Tan-ri Suwi, Datu Mario-ri Wawo, anak dari La tan-ri Ruwa Paduka sri sultan adam, arumpone bone. Arung Palakka meninggal di bontoala, kerajaan gowa (sekarang kabupaten Gowa) pada tanggal 6 april 1969 di makamkan di bontobiraeng.
PERNIKAHAN
-Menikah pertama dengan Arung Kaju (bercerai)
-Menikah ke dua kalinya dengan sira Daeng Talele karaeng ballajawa pada 16 maret 1668 (bercarai pada 26 januari 1671), (lahir pada 10 september 1634, meninggal 11 februari 1721), sebelumya istri dari karaeng bontomaronu, dan karaeng karunrung’ Abdul hamid, mantan tuma bicara-butta gowa, anak perempuan dari I-MALLEWAI Daeng Manasa karaeng mataoya, karaeng cendrana dan kadang sebagai Tumalailng gowa, oleh istrinya, daeng mangeppe, anak dari I-mallingkaang daeng mannyon-ri karaeng matoaya sultan abdullah awwal al-islam, karaeng tallo.
-Menikah ketiga kalinya di soppeng, 20 juli 1673 dengan We tan-ri pau adda sange datu ri watu [matinroe_ri madello] datu soppeng, sebelumnya istri dari la suni, adatuwang sidendreng, dan anak perempuan dari La tan-ri bali beowe II, datu ri soppeng.
-Menikah ke empat kalinya pada 14 september 1684, dengan Daeng marannu, karaeng laikang (meninggal pada 6 mei 1720), sebelumnya istri dari karaeng bontomanopo muhammad, dan anak dari pekampi daeng mangempa karaeng bontomanonu, gowa.
ARUMPONE BONE
Menggantikan ibunya sebagai datu Mario_ri Wawo ke 15. Mendapatkan gelar arung palakka sebagai hadiah membebaskan rakyatnya dari penjajahan makassar. Di akui oleh belanda sebagai arung pattiru, palette, dan palakka di bone dan dautu mario-ri wawo di soppeng, bantaeng, dan bontoala, 1670.
KEHIDUPAN DILUAR TANAH BUGIS
JAUH sebelum menaklukan Sultan Hasanuddin di Selat Buton, Arung Palakka adalah seorang jagoan tanpa tanding yang ditakuti di seantero Batavia. Lelaki gagah berambut panjang dan matanya menyala-nyala ini memiliki nama yang menggetarkan seluruh jagoan dan pendekar di Batavia. Keperkasaan seakan dititahkan untuk selalu bersemayam bersamanya. Pria Bugis dengan badik yang sanggup memburai usus ini sudah malang melintang di Batavia sejak tahun 1660, ketika ia bersama pengikutnya melarikan diri dari cengkeraman Makassar.
Batavia di abad ke-17 adalah arena di mana kekerasan seakan dilegalisir demi pencapaian tujuan. Di masa Gubernur Jenderal Joan Maetsueyker, kekerasan adalah udara yang menjadi napas bagi kelangsungan sistem kolonial. Kekerasan adalah satu-satunya mekanisme untuk menciptakan ketundukan pada bangsa yang harus dihardik dulu agar taat dan siap menjadi sekrup kecil dari pasang naik kolonialisme Eropa. Kekerasan itu seakan meneguhkan apa yang dikatakan filsuf Thomas Hobbes bahwa manusia pada dasarnya jahat dan laksana srigala yang saling memangsa sesamanya. Pada titik inilah Arung Palakka menjadi seorang perkasa bagi sesamanya.
Aku menemukan nama Arung Palakka saat membaca sebuah arsip di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Barusan, aku juga membaca sebuah novel yang berisikan data sejarah tentang Batavia di masa silam dengan sejarah kelam yang membuat bulu kuduk bergidik. Selama beberapa hari ini, sejarah Batavia seakan berpusar terus di benakku. Berbagai referensi itu menyimpan sekelumit kisah tentang pria yang patungnya dipahat dan berdiri gagah di tengah Kota Watampone.
Arung Palakka adalah potret keterasingan dan menyimpan magma semangat yang menggebu-gebu untuk penaklukan. Ia terasing dari bangsanya, bangsa Bugis yang kebebasannya terpasung. Namun, ia bebas sebebas merpati yang melesat dan meninggalkan jejak di Batavia. Ia sang penakluk yang terasing dari bangsanya. Malang melintang di kota sebesar Batavia, keperkasaannya kian membuncah tatkala ia membangun persekutuan yang menakutkan bersama dua tokoh terasing lainnya yaitu pria Belanda bernama Cornelis Janszoon Speelman dan seorang Ambon yang juga perkasa bernama Kapiten Jonker. Ketiganya membangun persekutuan rahasia dan memegang kendali atas VOC pada masanya, termasuk monopoli perdagangan emas dan hasil bumi.
Ketiga tokoh yang teralienasi ini adalah horor bagi jagoan di masa itu. Speelman adalah petinggi VOC yang jauh dari pergaulan VOC. Dia tersisih dari pergaulan karena terbukti terlibat dalam sebuah perdagangan gelap saat masih menjabat sebagai Gubernur VOC di Coromandel tahun 1665. Arung Palakka adalah pangeran Bugis yang hidup terjajah dan dalam tawanan Makassar. Ia memberontak dan bersama pengikutnya melarikan diri ke Batavia. VOC menyambutnya dengan baik dan memberikan daerah di pinggiran Kali Angke, hingga serdadu Bugis ini disebut To Angke atau orang Angke. Sedang Kapiten Jonker adalah seorang panglima yang berasal dari Pulau Manipa, Ambon. Dia punya banyak pengikut setia, namun tidak pernah menguasai satu daerah di mana orang mengakuinya sebagai daulat. Akhirnya dia bergabung dengan VOC di Batavia. Rumah dan tanah luas di daerah Marunda dekat Cilincing diberikan VOC kepadanya.
Baik Speelman, Arung Palakka, dan Kapiten Jonker sama-sama berangkat dari hal yang sama yaitu keterasingan. Ketiganya punya sejarah penaklukan yang membuat nama mereka menjadi legenda. Speelman menjadi legenda karena berhasil membuat Sultan Hasanuddin bertekuk lutut di Makassar dalam sebuah perlawanan paling dahsyat dalam sejarah peperangan yang pernah dialami VOC. Bersama Arung Palakka, Speelman menghancurkan Benteng Sombaopu yang menjadi momok bagi VOC serta rintangan (barikade) untuk menguasai Indonesia timur, khususnya jalur rempah- rempah Maluku, pada bulan November 1667.
Arung Palakka sangat populer sebab berhasil menaklukan Sumatra dan membumihanguskan perlawanan rakyat Minangkabau terhadap VOC. Arung Palakka menyimpan dua sisi diametral: di satu sisi hendak membebaskan Bugis, namun di sisi lain justru menaklukan daerah lain di Nusantara. Kisahnya berawal pada tahun 1662, dibuat perjanjian antara VOC dengan pemimpin Minangkabau di Padang. Perjanjian yang kemudian di sebut Perjanjian Painan itu bertujuan untuk monopoli dagang di pesisir Sumatera, termasuk monopoli emas Salido. Sayang, rakyat Minang mengamuk pada tahun 1666 dan menewaskan perwakilan VOC di Padang bernama Jacob Gruys. Arung Palakka kemudian dikirim ke situ dalam ekspedisi yang dinamakan Ekspedisi Verspreet. Bersama pasukan Bugis, ia berhasil meredam dan mematikan perlawanan rakyat Minangkabau hingga menaklukan seluruh pantai barat Sumatera, termasuk memutus hubungan Minangkabau dengan Aceh. Kekuasaan VOC diperluas hingga Ulakan di Pariaman. Di tempat inilah, Arung Palakka diangkat sebagai Raja Ulakan.
Sedang Kapiten Jonker punya reputasi menangkap Trunojoyo dan diserahkan pada pegawai keturunan VOC keturunan Skotlandia, Jacob Couper. Tiga tokoh yaitu Speelman, Arung Palakka, dan Kapiten Jonker telah menaklukan Nusantara di Barat, Tengah, dan Timur. Mereka punya andil besar untuk mengantarkan VOC pada puncak kejayaannya pada masa Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker. Tidak heran kalau ketiga tokoh ini menjadi tulang punggung kekuatan VOC pada masa itu. Maetsueyker tidak berani menolak permintaan ketiganya sebab mereka punya bala tentara yang besar. Di luar ketiganya, ia hanya mengandalkan serdadu bayaran multibangsa dengan loyalitas yang rendah. Akibat kekuasaan yang besar serta penguasaan monopoli emas ini, Speelman berhasil menjadi Gubernur Jenderal VOC pada tahun 1681.
Sayangnya, kisah menakjubkan dari tiga jagoan Batavia ini harus berakhir dalam waktu yang tidak lama. Musuh Speelman yaitu perwira asal Perancis bernama Isaac de’lOrnay de Saint Martin langsung bergerak. Komandan perang yang memenangkan peperangan di Cochin, Colombo, Ternate, Buton, Jawa Timur, dan Jawa Barat ini, berhasil mengungkap semua korupsi dan keculasan Speelman hingga akhirnya Speelman disingkirkan dari posisi Gubernur Jenderal. Isaac juga berhasil mempengaruhi Gubernur Jenderal Champuys untuk menyingkirkan Kapiten Jonker. Wilayah kekuasaan pria Ambon ini di Pejonkeran Marunda dikepung, kemudian diserang. Kapiten Jonker tewas terbunuh dalam penyerbuan itu. Kepalanya dipancung dan dipertontonkan. Pengikutnya dibunuh dan keluarganya diasingkan ke Colombo dan Afrika.
Sedang Arung Palakka disingkirkan secara halus dengan cara memasung langkahnya untuk tetap menjadi Raja Bone, kemudian kekuasaannya dikontrol dari Benteng Rotterdam. Pria Bugis ini dijauhkan dari hiruk-pikuk politik di Batavia sehingga kehilangan semua kuasa dan pengaruh besarnya di jantung kekuasaan VOC. Ia seakan diasingkan agar tidak lagi membangun networking atau jaringan dengan bala tentaranya di Batavia. Hingga akhirnya Arung Palakka kesunyian dan menjemput ajalnya di bumi Sulawesi. Namun, namanya telah terpatri sebagai jagoan tanpa lawan di tanah Batavia.
Sumber : dirangkum dari berbagai macam sumber
Read More..
SITUS TINCO KABUPATEN SOPPENG SULAWESI SELATAN
Pemikiran yang mendasari penelitian situs Tinco, salah satunya berasal dari kajian naskah lontara (filologi). Dalam naskah itu telah menunjuk eksistensi Tinco sebagai tempat awal perkembangan masyarakat Soppeng Riaja. Keberadaan Tinco sebagai kawasan aktivitas manusia masa lampau telah dipaparkan dalam lontara Attoriolonna Soppeng (naskah E=MAK 188, p.5.1-p.7.29 dari Ian Caldwell 1988) yang apabila diterjemahkan secara bebas bahwa masayarakat Soppeng berasal dari dua tempat yaitu Sewo dan Gattareng. Orang-orang yang berasal dari Sewo menempati daerah yang disebut Soppeng Riaja (Soppeng Barat) dan yang berasal dari Gattareng menempati Soppeng Rilau (Soppeng Timur). Ada enam puluh kampung (wanua) yang dipimpin oleh orang yang bergelar Matoa. Kampung-kampung yang termasuk Soppeng Rilau adalah Salotungo, Lompo, Kubba, Paningcong, Talagae, Attassalo, Mangkuttu, Maccile, Watuwatu dan Akkampeng. Sedang yang termasuk Soppeng Riaja ialah: Pesse, Seppang, Pising, Launga, Mattabulu, Ara, Lisu, Lawo, Madello Rilau dan Tinco. Cenrana, Salokaraja, Malaka, Mattoanging termasuk ke dalam Soppeng Rilau dan Soppeng Riaja. Tidak diketahui lagi berapa lama rakyat Soppeng tidak memiliki raja, setelah keturunan Sawerigading terakhir punah. Pada waktu itu, Soppeng hanya dikendalikan oleh para matoa yang berjumlah enam puluh, dan yang dianggap sebagai pemimpin adalah Matoa Bila, Matoa Botto dan Matoa Ujung. Para pemipin inilah yang mengayomi negeri Soppeng sampai datangnya Petta Manurunge (yang turun) di Sekkanyili.
Pada waktu Matoa Tinco mengetahui kedatangan Petta Manurunge di Sekkanyili, maka berita tersebut disampaikan kepada Matoa Botto, Matoa Ujung dan Matoa Bila, untuk diberitakan kepada orang-orang yang bermukim di Soppeng Rilau. Setelah mengetahui berita itu maka, orang-orang dari Soppeng Rilau dan Soppeng Riaja mengambil kesepakatan. Berkata Matoa Ujung bahwa “Dilain hari kita akan datang menjemputnya”. Ditimpali pula oleh Matoa Salotungo “Karena kita telah berkumpul, maka sebaiknya dan mengangkatnya sebagai raja yang menjaga dan membawa kita jauh maupun dekat hingga anak cucu kita nantinya”. Setelah itu berangkatlah para matoa menyampaikannya kepada Tomanurung. Berkatalah Matoa Ujung, Botto dan Bila, bahwa”Kami semua hambamu, mengharap belas kasihmu, janganlah engkau melayang, engkaulah pemerintah kami, yang menjaga kami, mengasihi kami dan membawa kami dekat maupun jauh sampai kepada turunan kami, pendapatmulah yang kami ikuti. Tomanurung berkata : “dari manakah kalian ? Berkata para matoa “saya datang untuk dikasihi, janganlah engkau menghilang, engkaulah yang kami pertuan dan yang akan menjaga kami, melidungi kami baik dekat maupun jauh sampai turunan kami. Kemudian apa yang kamu tidak setuju maka kami tidak akan menyetujui pula.” Dari dialog antara Petta Manurunge dengan para Matoa, terjadilah kesepakatan. Pada saat itu hadir semua para bissu meramaikan kerajaan, dan membawa Tomanurung ke Soppeng di rumah Matoa Tinco, bersama dengan itu diberikan sawah kerajaan di Lakelluaja.
Kapan kejadian yang digambarkan dalam lontara tersebut belum diketahui secara pasti, namun menurut perkiraan beberapa sejarawan bahwa peristiwa itu terjadi sekitar abad ke-12/13 Masehi. Demikian pula dengan tokoh yang disebut Tomanurung tidak diketahui asal usulnya, namun tokoh tersebut digambarkan sebagai sosok yang memiliki kelebihan dan keistimewaan yang akhirnya disepakati sebagai pemimpin masyarakat yang kemudian lebih dikenal dengan nama Latemmamala. Dalam mufakat antara Tomanurung Latemmamala dengan para Matoa yang berjumlah enam puluh, disepakati bahwa Tomanurung akan melindungi dan mangayomi serta berusaha
memakmurkan rakyatnya. Setelah Latemmamala diangkat sebagai Datu (raja) Soppeng Riaja yang pertama, Latemmamala memberitahukan pula bahwa di Gowarie (sekitar 20 km di sebelah selatan Watansoppeng) muncul Tomanurung lain yang bernama Manurunge ri Gowarie. Dia merupakan seorang putri yang kemudian dijemput pula oleh para Matoa dan atas kesepakatan bersama, Latemmamala diangkat sebagai Datu Soppeng Riaja dan Tomanurunge ri Gowarie diangkat sebagai Datu Soppeng Rilau. Selanjutnya dalam silsilah raja-raja Soppeng yang dikenal hanya keturunan Latemmamala.
Keistimewaan Tinco dalam hal ini, digambarkan dalam cerita rakyat sebagai berikut, bahwa : Raja (datu) Soppeng pertama yaitu Tomanurung di Sekkanyili (sebuah tempat di Desa Leworong sekarang kira-kira 20 kilometer di sebelah utara Watansoppeng) yang bernama Latemmamala, beliau dibuatkan istana di Tinco sekitar 7 km di sebelah utara Watansoppeng. Bersamaan dengan itu dibuat pula sawah kerajaan di Lakelluaja.
Demikian lontara meriwayatkan asal muasal terbentuknya sistem pemerintahan Soppeng yang diawali turunnya seorang titisan dewa yang disebut Tomanurung (orang yang turun dari langit) di daerah Sekkanyili. Hal penting yang dapat ditangkap dalam uraian diatas bahwa pada umumnya tempat-tempat yang disebutkan, memiliki peninggalan artefaktual yang membutuhkan sinkronisasi dan interpretasi data sejarah dan arkeologis.
Daerah Tinco sebagaimana dilansir dalam naskah Lontara Attoriolonna Soppeng disebut sebagai wanua yang terjadi setelah masyarakat Soppeng berpindah dari Gattareng (daerah pegunungan) menuju permukiman di daerah-daerah di sekitar pinggir sungai atau kaki bukit yang datar. Selain itu, disebutkan pula bahwa Tinco sebagai ibukota kerajaan Soppeng Riaja dan suatu lokasi terdapatnya kisah mallajang (raib) Tomanurung Latemmamala yang kemudian diabadikan dalam bentuk monumental yang berupa penancapan batu andesit bercungkup (beratap) seng.
Dalam silsilah raja-raja Soppeng sebagaimana yang tertera dalam Lontara Geneologis Kerajaan Soppeng Naskah D=NBG 99, p.224.10-p.230.6 dari Cadwell 1988:118-127 (Kaluppa, 1989:79-82) diperoleh keterangan mengenai nama-nama raja Soppeng sebagai berikut : 1. Latemmamala, 2. La Marangcina, 3. La Bang, 4. We Tekkewanua, 5. La Makkanengnga, 6. La Karella, 7. La Pawiseang, 8. La Pasampoi, 9. La Manussaq, 10. La Den, 11. La Sakati, 12. La Mataesso, 13. La Mappalepeq, 14. Beoe, 15. La Tenribali, 16. We Ada, 17. We Tenri Senge, 18. La Patau, 19. La Pada Sajati, 20. La Pareppa, 21. Batari Toja, 22. To Wesa, 23. La Temma Senge, 24. La Tongeng, 25. La Mappajanci, 26. La Mappapoleonro, 27. We Tenriawaru, 28. We Tenriyampareng, 29. La Unru, 30. La Onrong, 31. To Lompeng, 32. Abdul Gani, 33. Hj. Sitti Saenab, dan 34. Hj. Andi Wana.
Latemmamala sebagai Raja (Datu) Soppeng Riaja pertama kawin dengan We Mapupu (Tomanurung ri Suppa). Dari perkawinan itu melahirkan seorang putra yang bernama La Marangcina yang pada masa berikutnya menggantikan ayahnya sebagai Datu Soppeng Riaja II. Pada masa pemerintahan Datu Soppeng Riaja I, rakyat mengalami kehidupan yang makmur. Dalam menjalankan pemerintahannya, Datu Soppeng Riaja dibantu oleh seorang pangepa. Demikian selanjutnya, hingga masa pemerintahan Datu Soppeng Riaja keempat yaitu We Tekkewanua yang berhasil memperluas wilayah kekuasaan Soppeng hingga ke pantai barat Sulawesi Selatan. Masa itu pula telah dibangun persawahan dan perikanan demi meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. We Tekkewanua mempunyai dua orang anak yaitu Lawadeng yang kemudian menjadi pangepa dan La Makkanengnga yang selanjutnya menggantikan ibunya sebagai Datu Soppeng Riaja.
Pada abad ke-16 Masehi, terjadi pertikaian antara La Mataesso (Datu Soppeng Riaja) dengan La Makkarodda (Datu Soppeng Rilaiu) yang berlanjut hingga terjadi perang saudara kedua belah pihak, namun kemudian La Makkarodda mengalami kekalahan, sehingga ia mengasingkan diri ke Bone. Ketika berada di Bone, ia mengawini We Tenri Pakkua (saudara perempuan Raja Bone, Bongkangnge). Berselang beberapa tahun kemudian La Mataesso memanggil La Makkarodda agar kembali ke Soppeng memimpin kerajaannya, namun La Makkarodda menolak untuk menjadi Datu Soppeng Riaja. La Makkarodda hanya bersedia menjadi panglima perang (watanglipu). Persyaratan itu disetujui oleh La Mataesso, dan sejak saat itu terjadi penggabungan antara wilayah Soppeng Riaja dan Soppeng Rilau dan ibukota kerajaan dipindahkan dari Tinco ke Lalengbata (Lalabata).
Dalam perkembangan selanjutnya, Islam telah masuk pada periode awal abad ke-17 Masehi atas prakarsa raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin. Islam diterima sebagai agama resmi kerajaan Soppeng pada tahun 1609 pada masa pemerintahan Datu Soppeng ke-14 bernama Datu Beoe. Ketika itu, Sultan Alauddin sebagai Raja Gowa ke-14 mengajak seluruh raja-raja di daerah Bugis untuk memeluk ajaran baru (agama Islam), namun kerajaan-kerajaan Bugis seperti Bone, Soppeng, Wajo, Ajatappareng menolak ajakan tersebut, sehingga raja Gowa harus menempuh jalan lain, yaitu memerangi mereka. Peristiwa tersebut yang dikenal dengan musu assellengeng (periksa Andaya, 2004 : 24).
Meskipun dimaklumi bahwa masuknya Islam ke wilayah Soppeng agak terlambat jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Sulawsei Selatan, namun kini Islam justru telah menjadi identitas komunal bagi suku Bugis di Soppeng. Awalnya orang Sulawesi Selatan pada era sejarah masih tetap resisten dalam adaptasinya menghadapi transformasi idiologis dan sosial kultural, namun akhirnya Islam dapat diterima juga, bahkan pada perkembangan selanjutnya menjadi motor penggerak dalam kehidupan ekonomi dan pemerintahan bagi suku Bugis, Makassar, dan Mandar (Fadilla, 1999 : 99). Hal itu didorong oleh adaptasinya dalam interaksi sosial politik dengan etnik besar lainnya seperti Luwu dan Makassar yang telah lebih dahulu menerima Islam.
Diterimanya Islam sebagai agama resmi masyarakat berarti perubahan drastis telah menandai zamannya. Ada indikasi bahwa di Soppeng juga menerima Islam dan bahkan mengalami perkembangannya dengan bukti-bukti arkeologis berupa makam yang megah dan kaya akan ragam hias terutama terlihat pada kompleks maka raja-raja Soppeng di Jera Lompoe, Bila. Dalam persepktif masa kini, kehidupan masyarakat senantiasa ingin menunjukkan identitas budaya dan penghormatan yang tinggi kepada pemimpin atau raja mereka. Penataan makam yang terletak di dalam kompleks tersebut menunjukkan identitas penghormatan dan seakan-akan ada pembagian ruang bagi seorang tokoh yang kharismatik.
Para pemukim yang menganut Islam pada perkembangan kemudian tersebar pada beberapa karakter daerah yang beragam. Di sisi lain mereka memanfaatkan kondisi alam yang meskipun memiliki karakter yang berbeda, namun tetap konsisten dengan agama yang dianut dan sangat dimungkinkan untuk mengembangkan budaya yang diaplikasikannya dalam ajaran Islam sebagai anutan mereka. Masyarakat seolah-olah telah mengalami resistensi budaya yang panjang, namun hanya beberapa lama kemudian sejarah baru mulai diterapkan dan Islam sejak itu terintegrasi dalam budaya Bugis, Makassar dan Mandar (Fadillah,1999:106). Peranan penyebar Islam di daerah tersebut lebih menekankan pada praktek-praktek ritus dan pengukuhan syariah. Perilaku religius dan pengenalan ritus-ritus Islam seperti khitanan dan penamatan Al-Qur’an, pernikahan dan upacara Maulid. Penerapan ajaran Islam pun masih bersifat toleran dengan memberi kelonggaran dalam memasukkan budaya-budaya lokal sejauh hal itu tidak bertentangan dengan aqidah.
sumber : balai arkeologi Makassar
Read More..
Pada waktu Matoa Tinco mengetahui kedatangan Petta Manurunge di Sekkanyili, maka berita tersebut disampaikan kepada Matoa Botto, Matoa Ujung dan Matoa Bila, untuk diberitakan kepada orang-orang yang bermukim di Soppeng Rilau. Setelah mengetahui berita itu maka, orang-orang dari Soppeng Rilau dan Soppeng Riaja mengambil kesepakatan. Berkata Matoa Ujung bahwa “Dilain hari kita akan datang menjemputnya”. Ditimpali pula oleh Matoa Salotungo “Karena kita telah berkumpul, maka sebaiknya dan mengangkatnya sebagai raja yang menjaga dan membawa kita jauh maupun dekat hingga anak cucu kita nantinya”. Setelah itu berangkatlah para matoa menyampaikannya kepada Tomanurung. Berkatalah Matoa Ujung, Botto dan Bila, bahwa”Kami semua hambamu, mengharap belas kasihmu, janganlah engkau melayang, engkaulah pemerintah kami, yang menjaga kami, mengasihi kami dan membawa kami dekat maupun jauh sampai kepada turunan kami, pendapatmulah yang kami ikuti. Tomanurung berkata : “dari manakah kalian ? Berkata para matoa “saya datang untuk dikasihi, janganlah engkau menghilang, engkaulah yang kami pertuan dan yang akan menjaga kami, melidungi kami baik dekat maupun jauh sampai turunan kami. Kemudian apa yang kamu tidak setuju maka kami tidak akan menyetujui pula.” Dari dialog antara Petta Manurunge dengan para Matoa, terjadilah kesepakatan. Pada saat itu hadir semua para bissu meramaikan kerajaan, dan membawa Tomanurung ke Soppeng di rumah Matoa Tinco, bersama dengan itu diberikan sawah kerajaan di Lakelluaja.
Kapan kejadian yang digambarkan dalam lontara tersebut belum diketahui secara pasti, namun menurut perkiraan beberapa sejarawan bahwa peristiwa itu terjadi sekitar abad ke-12/13 Masehi. Demikian pula dengan tokoh yang disebut Tomanurung tidak diketahui asal usulnya, namun tokoh tersebut digambarkan sebagai sosok yang memiliki kelebihan dan keistimewaan yang akhirnya disepakati sebagai pemimpin masyarakat yang kemudian lebih dikenal dengan nama Latemmamala. Dalam mufakat antara Tomanurung Latemmamala dengan para Matoa yang berjumlah enam puluh, disepakati bahwa Tomanurung akan melindungi dan mangayomi serta berusaha
memakmurkan rakyatnya. Setelah Latemmamala diangkat sebagai Datu (raja) Soppeng Riaja yang pertama, Latemmamala memberitahukan pula bahwa di Gowarie (sekitar 20 km di sebelah selatan Watansoppeng) muncul Tomanurung lain yang bernama Manurunge ri Gowarie. Dia merupakan seorang putri yang kemudian dijemput pula oleh para Matoa dan atas kesepakatan bersama, Latemmamala diangkat sebagai Datu Soppeng Riaja dan Tomanurunge ri Gowarie diangkat sebagai Datu Soppeng Rilau. Selanjutnya dalam silsilah raja-raja Soppeng yang dikenal hanya keturunan Latemmamala.
Keistimewaan Tinco dalam hal ini, digambarkan dalam cerita rakyat sebagai berikut, bahwa : Raja (datu) Soppeng pertama yaitu Tomanurung di Sekkanyili (sebuah tempat di Desa Leworong sekarang kira-kira 20 kilometer di sebelah utara Watansoppeng) yang bernama Latemmamala, beliau dibuatkan istana di Tinco sekitar 7 km di sebelah utara Watansoppeng. Bersamaan dengan itu dibuat pula sawah kerajaan di Lakelluaja.
Demikian lontara meriwayatkan asal muasal terbentuknya sistem pemerintahan Soppeng yang diawali turunnya seorang titisan dewa yang disebut Tomanurung (orang yang turun dari langit) di daerah Sekkanyili. Hal penting yang dapat ditangkap dalam uraian diatas bahwa pada umumnya tempat-tempat yang disebutkan, memiliki peninggalan artefaktual yang membutuhkan sinkronisasi dan interpretasi data sejarah dan arkeologis.
Daerah Tinco sebagaimana dilansir dalam naskah Lontara Attoriolonna Soppeng disebut sebagai wanua yang terjadi setelah masyarakat Soppeng berpindah dari Gattareng (daerah pegunungan) menuju permukiman di daerah-daerah di sekitar pinggir sungai atau kaki bukit yang datar. Selain itu, disebutkan pula bahwa Tinco sebagai ibukota kerajaan Soppeng Riaja dan suatu lokasi terdapatnya kisah mallajang (raib) Tomanurung Latemmamala yang kemudian diabadikan dalam bentuk monumental yang berupa penancapan batu andesit bercungkup (beratap) seng.
Dalam silsilah raja-raja Soppeng sebagaimana yang tertera dalam Lontara Geneologis Kerajaan Soppeng Naskah D=NBG 99, p.224.10-p.230.6 dari Cadwell 1988:118-127 (Kaluppa, 1989:79-82) diperoleh keterangan mengenai nama-nama raja Soppeng sebagai berikut : 1. Latemmamala, 2. La Marangcina, 3. La Bang, 4. We Tekkewanua, 5. La Makkanengnga, 6. La Karella, 7. La Pawiseang, 8. La Pasampoi, 9. La Manussaq, 10. La Den, 11. La Sakati, 12. La Mataesso, 13. La Mappalepeq, 14. Beoe, 15. La Tenribali, 16. We Ada, 17. We Tenri Senge, 18. La Patau, 19. La Pada Sajati, 20. La Pareppa, 21. Batari Toja, 22. To Wesa, 23. La Temma Senge, 24. La Tongeng, 25. La Mappajanci, 26. La Mappapoleonro, 27. We Tenriawaru, 28. We Tenriyampareng, 29. La Unru, 30. La Onrong, 31. To Lompeng, 32. Abdul Gani, 33. Hj. Sitti Saenab, dan 34. Hj. Andi Wana.
Latemmamala sebagai Raja (Datu) Soppeng Riaja pertama kawin dengan We Mapupu (Tomanurung ri Suppa). Dari perkawinan itu melahirkan seorang putra yang bernama La Marangcina yang pada masa berikutnya menggantikan ayahnya sebagai Datu Soppeng Riaja II. Pada masa pemerintahan Datu Soppeng Riaja I, rakyat mengalami kehidupan yang makmur. Dalam menjalankan pemerintahannya, Datu Soppeng Riaja dibantu oleh seorang pangepa. Demikian selanjutnya, hingga masa pemerintahan Datu Soppeng Riaja keempat yaitu We Tekkewanua yang berhasil memperluas wilayah kekuasaan Soppeng hingga ke pantai barat Sulawesi Selatan. Masa itu pula telah dibangun persawahan dan perikanan demi meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. We Tekkewanua mempunyai dua orang anak yaitu Lawadeng yang kemudian menjadi pangepa dan La Makkanengnga yang selanjutnya menggantikan ibunya sebagai Datu Soppeng Riaja.
Pada abad ke-16 Masehi, terjadi pertikaian antara La Mataesso (Datu Soppeng Riaja) dengan La Makkarodda (Datu Soppeng Rilaiu) yang berlanjut hingga terjadi perang saudara kedua belah pihak, namun kemudian La Makkarodda mengalami kekalahan, sehingga ia mengasingkan diri ke Bone. Ketika berada di Bone, ia mengawini We Tenri Pakkua (saudara perempuan Raja Bone, Bongkangnge). Berselang beberapa tahun kemudian La Mataesso memanggil La Makkarodda agar kembali ke Soppeng memimpin kerajaannya, namun La Makkarodda menolak untuk menjadi Datu Soppeng Riaja. La Makkarodda hanya bersedia menjadi panglima perang (watanglipu). Persyaratan itu disetujui oleh La Mataesso, dan sejak saat itu terjadi penggabungan antara wilayah Soppeng Riaja dan Soppeng Rilau dan ibukota kerajaan dipindahkan dari Tinco ke Lalengbata (Lalabata).
Dalam perkembangan selanjutnya, Islam telah masuk pada periode awal abad ke-17 Masehi atas prakarsa raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin. Islam diterima sebagai agama resmi kerajaan Soppeng pada tahun 1609 pada masa pemerintahan Datu Soppeng ke-14 bernama Datu Beoe. Ketika itu, Sultan Alauddin sebagai Raja Gowa ke-14 mengajak seluruh raja-raja di daerah Bugis untuk memeluk ajaran baru (agama Islam), namun kerajaan-kerajaan Bugis seperti Bone, Soppeng, Wajo, Ajatappareng menolak ajakan tersebut, sehingga raja Gowa harus menempuh jalan lain, yaitu memerangi mereka. Peristiwa tersebut yang dikenal dengan musu assellengeng (periksa Andaya, 2004 : 24).
Meskipun dimaklumi bahwa masuknya Islam ke wilayah Soppeng agak terlambat jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Sulawsei Selatan, namun kini Islam justru telah menjadi identitas komunal bagi suku Bugis di Soppeng. Awalnya orang Sulawesi Selatan pada era sejarah masih tetap resisten dalam adaptasinya menghadapi transformasi idiologis dan sosial kultural, namun akhirnya Islam dapat diterima juga, bahkan pada perkembangan selanjutnya menjadi motor penggerak dalam kehidupan ekonomi dan pemerintahan bagi suku Bugis, Makassar, dan Mandar (Fadilla, 1999 : 99). Hal itu didorong oleh adaptasinya dalam interaksi sosial politik dengan etnik besar lainnya seperti Luwu dan Makassar yang telah lebih dahulu menerima Islam.
Diterimanya Islam sebagai agama resmi masyarakat berarti perubahan drastis telah menandai zamannya. Ada indikasi bahwa di Soppeng juga menerima Islam dan bahkan mengalami perkembangannya dengan bukti-bukti arkeologis berupa makam yang megah dan kaya akan ragam hias terutama terlihat pada kompleks maka raja-raja Soppeng di Jera Lompoe, Bila. Dalam persepktif masa kini, kehidupan masyarakat senantiasa ingin menunjukkan identitas budaya dan penghormatan yang tinggi kepada pemimpin atau raja mereka. Penataan makam yang terletak di dalam kompleks tersebut menunjukkan identitas penghormatan dan seakan-akan ada pembagian ruang bagi seorang tokoh yang kharismatik.
Para pemukim yang menganut Islam pada perkembangan kemudian tersebar pada beberapa karakter daerah yang beragam. Di sisi lain mereka memanfaatkan kondisi alam yang meskipun memiliki karakter yang berbeda, namun tetap konsisten dengan agama yang dianut dan sangat dimungkinkan untuk mengembangkan budaya yang diaplikasikannya dalam ajaran Islam sebagai anutan mereka. Masyarakat seolah-olah telah mengalami resistensi budaya yang panjang, namun hanya beberapa lama kemudian sejarah baru mulai diterapkan dan Islam sejak itu terintegrasi dalam budaya Bugis, Makassar dan Mandar (Fadillah,1999:106). Peranan penyebar Islam di daerah tersebut lebih menekankan pada praktek-praktek ritus dan pengukuhan syariah. Perilaku religius dan pengenalan ritus-ritus Islam seperti khitanan dan penamatan Al-Qur’an, pernikahan dan upacara Maulid. Penerapan ajaran Islam pun masih bersifat toleran dengan memberi kelonggaran dalam memasukkan budaya-budaya lokal sejauh hal itu tidak bertentangan dengan aqidah.
sumber : balai arkeologi Makassar
Read More..