Dipercaya bahwa asal-usul raja-raja di Sulawesi Selatan berasal dari To Manurung(orang bunian) manusia yang berasal dari langit, turun ke bumi. To Manurung ini membawa segala kebesaran, kehormatan, dan kesaktiannya. Menurut riwayat kuno, daratan Sulawesi mengalami 3 kali kedatangan To Manurung. Siapa saja mereka?
PERISTIWA ‘pendaratan’ pertama:
dipercaya bahwa yang mula-mula menjejakkan kakinya di daratan Sulawesi ialah “Tamboro Langi”. Lelaki perkasa ini berdiri di puncak gunung Latimojong. Ketika itu, daratan Sulawesi masih tergenang air, hanya puncak gunung Lompobattang yang mencuat di sebelah selatan, dan puncak gunung Latimojong di tengah-tengah.
Tamboro Langi lalu memproklamirkan diri sebagai utusan dari langit untuk memimpin manusia. Dengan kata lain, dia mengangkat dirinya sebagai raja dan rakyat harus tunduk padanya.
Tamboro Langi kawin dengan Tande Bilik, yaitu seorang dewi yang muncul dari busa air sungai Saddang. Puteranya yang sulung bernama Sandaboro, beranakkan La Kipadada. La Kipadada inilah yang membangun 3 buah kerajaan besar, yakni: di Rongkong asal mulanya kerajaan Toraja, di Luwu asal mulanya kerajan Bugis, dan di Gowa asal mulanya kerajaan Makassar.
Laksana garis nasib setiap peradaban, setelah keturunannya mengalami masa kejayaan, kerajaan-kerajaan tersebut mengalami kemunduran yang berakibat kekacauan.
Untuk mengatasi kekacauan ini, ‘pendaratan’ kedua terjadi. Kali ini yang diutus masih seorang laki-laki bernama Batara Guru. Batara Guru kawin dengan We Nyilitimo, puteri dari Pertiwi (Bumi bawah) dan memperoleh putera yang diberi nama Batara Lattu. Batara Lattu kawin dengan We Opu Sengngeng, puteri dari Masyrik. Dari perkawinan mereka ini maka lahirlah puteranya yang bernama Sawerigading.
Sawerigading membentuk sebuah kerajaan besar (negara) yaitu kerajan Luwu di Palopo, yang di bawahnya terdiri dari kerajaan-kerajaan yang masing-masing merdeka dan berdaulat, seperti: Kerajaan Toraja, Palu, Ternate, Bone, Gowa, dll.
Kejayaan masa Sawerigading menemui pula kemunduran dan berakhir vakum; tujuh turunan lamanya tak ada raja si Sulawesi Selatan yang memerintah, sehingga yang memegang pemerintahan hanya penduduk isi dunia yang asli.
‘Pendaratan’ ketiga pun akhirnya tiba. Namun pendaratan kali ini terdapat beberapa orang To Manurung sekaligus pada beberapa tempat di tanah yang berbeda-beda, seperti di Toraja, Luwu, Bugis, dan Makassar, yang menjadi pokok asal raja-raja yang memangku kerajaan hingga saat ini.
To Manurung di Luwu bernama Sempurusiang, kawin dengan Pattiajala, puteri yang muncul dari air. To manurung di Bone bernama Matasilompoe, kawin dengan To Manurung perempuan di Toro. To Manurung di Gowa adalah seorang perempuan, kawin dengan Karaeng Bayo dari Pertiwi. To Manurung di Bacukiki memperistrikan To Manurung di Lawaramparang, dan turunannya menjadi raja di tanah-tanah sebelah barat danau Tempe (Ajatapparang) dan di sepanjang lereng gunung (Massinrinpulu).
Lalu, bagaimana corak pemerintahan mereka? Era Tamboro Langi’ adalah era pemerintahan yang absolute monarchi, yaitu kehendak raja saja yang jadi; rakyat cuma tahu tunduk dan menerima titah raja. Sementara pada peristiwa To manurung ketiga, corak pemerintahannya sudah agak demokrasi mesti diakui belum sempurna.
Peribahasa Bugis menyebutkan: “Makkeda tenribali, mette tenrisumpalang.” Artinya: “Berkata tak dapat dilawan, menyahut tak dapat disalahkan”. Gambaran akan sifat Absolute monarchie; apa yang dikatakan raja, itulah yang benar.
Namun sedikit berbeda ketika kejadian To Manurung di Gowa. Ketika To manurung menjejakkan kakinya di Tamalate, Patcallaya atas nama rakyat Gowa datang ke hadapan To Manurung, dan berkata: “Ana’mang, bainemang, iapa nakulle nipela, punna buttaya angkaeroki.” Artinya: Anak kami, istri kami, hanya dapat disingkirkan kalau tanah (rakyat) yang menghendaki.
Nampak di sini sifat-sifat demokrasi yang mulai berkembang ketika itu, bahwa seorang raja tidak bisa berbuat semaunya saja tanpa persetujuan adat. Hal ini dikuatkan oleh bukti ketika Tepu Karaeng Daeng Tarabung, Karaeng Bontolangkasa, raja Gowa ke XIII (1590-1593) diterjang gelombang pemberontakan oleh rakyatnya sendiri, lantaran memerintah secara zalim. Beliau ‘diusir’ dari kerajaannya pada tahun 1593.
sumber : rappang.com
Read More..
Kamis, 20 Januari 2011
Selasa, 11 Januari 2011
ARU PALAKKA PUTRA BUGIS
Arung Palakka (lahir di lamatta, mario-ri wawo, soppeng , 15 september 1634 wafat di bontoala 6 april 1696 dalam usia 61 tahun) adalah sultan bone dari tahun 1972-1696. Saat masih jadi pangeran, ia memimpin kerajaannya dalam meraih kemerdekaan dari kesultanan gowa pada tahun 1660-an. Ia bekerjasama dengan belanda dalam merebut kota makassar.
Palakka membawa suku bugis menjadi kekuatan maritim besar dan mendominasi kawasan tersebut selama hampir seabad. Arung Palakka bergelar “La Tan-ri tatta To urong To-ri SompaE Petta MalampE’E Gemme’na Daeng Serang To’ Appatunru Paduka Sri Sultan Sa’admuddin, [MatinroE-ri Bontoawala], Arung Bone.
BIOGRAFI
Lahir di lamatta, Mario ri Wawo, Soppeng, Tanggal 15 september 1634, anak dari Lapottobunna, Arung Tanah Tengnga dengan istrinya, We Tan-ri Suwi, Datu Mario-ri Wawo, anak dari La tan-ri Ruwa Paduka sri sultan adam, arumpone bone. Arung Palakka meninggal di bontoala, kerajaan gowa (sekarang kabupaten Gowa) pada tanggal 6 april 1969 di makamkan di bontobiraeng.
PERNIKAHAN
-Menikah pertama dengan Arung Kaju (bercerai)
-Menikah ke dua kalinya dengan sira Daeng Talele karaeng ballajawa pada 16 maret 1668 (bercarai pada 26 januari 1671), (lahir pada 10 september 1634, meninggal 11 februari 1721), sebelumya istri dari karaeng bontomaronu, dan karaeng karunrung’ Abdul hamid, mantan tuma bicara-butta gowa, anak perempuan dari I-MALLEWAI Daeng Manasa karaeng mataoya, karaeng cendrana dan kadang sebagai Tumalailng gowa, oleh istrinya, daeng mangeppe, anak dari I-mallingkaang daeng mannyon-ri karaeng matoaya sultan abdullah awwal al-islam, karaeng tallo.
-Menikah ketiga kalinya di soppeng, 20 juli 1673 dengan We tan-ri pau adda sange datu ri watu [matinroe_ri madello] datu soppeng, sebelumnya istri dari la suni, adatuwang sidendreng, dan anak perempuan dari La tan-ri bali beowe II, datu ri soppeng.
-Menikah ke empat kalinya pada 14 september 1684, dengan Daeng marannu, karaeng laikang (meninggal pada 6 mei 1720), sebelumnya istri dari karaeng bontomanopo muhammad, dan anak dari pekampi daeng mangempa karaeng bontomanonu, gowa.
ARUMPONE BONE
Menggantikan ibunya sebagai datu Mario_ri Wawo ke 15. Mendapatkan gelar arung palakka sebagai hadiah membebaskan rakyatnya dari penjajahan makassar. Di akui oleh belanda sebagai arung pattiru, palette, dan palakka di bone dan dautu mario-ri wawo di soppeng, bantaeng, dan bontoala, 1670.
KEHIDUPAN DILUAR TANAH BUGIS
JAUH sebelum menaklukan Sultan Hasanuddin di Selat Buton, Arung Palakka adalah seorang jagoan tanpa tanding yang ditakuti di seantero Batavia. Lelaki gagah berambut panjang dan matanya menyala-nyala ini memiliki nama yang menggetarkan seluruh jagoan dan pendekar di Batavia. Keperkasaan seakan dititahkan untuk selalu bersemayam bersamanya. Pria Bugis dengan badik yang sanggup memburai usus ini sudah malang melintang di Batavia sejak tahun 1660, ketika ia bersama pengikutnya melarikan diri dari cengkeraman Makassar.
Batavia di abad ke-17 adalah arena di mana kekerasan seakan dilegalisir demi pencapaian tujuan. Di masa Gubernur Jenderal Joan Maetsueyker, kekerasan adalah udara yang menjadi napas bagi kelangsungan sistem kolonial. Kekerasan adalah satu-satunya mekanisme untuk menciptakan ketundukan pada bangsa yang harus dihardik dulu agar taat dan siap menjadi sekrup kecil dari pasang naik kolonialisme Eropa. Kekerasan itu seakan meneguhkan apa yang dikatakan filsuf Thomas Hobbes bahwa manusia pada dasarnya jahat dan laksana srigala yang saling memangsa sesamanya. Pada titik inilah Arung Palakka menjadi seorang perkasa bagi sesamanya.
Aku menemukan nama Arung Palakka saat membaca sebuah arsip di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Barusan, aku juga membaca sebuah novel yang berisikan data sejarah tentang Batavia di masa silam dengan sejarah kelam yang membuat bulu kuduk bergidik. Selama beberapa hari ini, sejarah Batavia seakan berpusar terus di benakku. Berbagai referensi itu menyimpan sekelumit kisah tentang pria yang patungnya dipahat dan berdiri gagah di tengah Kota Watampone.
Arung Palakka adalah potret keterasingan dan menyimpan magma semangat yang menggebu-gebu untuk penaklukan. Ia terasing dari bangsanya, bangsa Bugis yang kebebasannya terpasung. Namun, ia bebas sebebas merpati yang melesat dan meninggalkan jejak di Batavia. Ia sang penakluk yang terasing dari bangsanya. Malang melintang di kota sebesar Batavia, keperkasaannya kian membuncah tatkala ia membangun persekutuan yang menakutkan bersama dua tokoh terasing lainnya yaitu pria Belanda bernama Cornelis Janszoon Speelman dan seorang Ambon yang juga perkasa bernama Kapiten Jonker. Ketiganya membangun persekutuan rahasia dan memegang kendali atas VOC pada masanya, termasuk monopoli perdagangan emas dan hasil bumi.
Ketiga tokoh yang teralienasi ini adalah horor bagi jagoan di masa itu. Speelman adalah petinggi VOC yang jauh dari pergaulan VOC. Dia tersisih dari pergaulan karena terbukti terlibat dalam sebuah perdagangan gelap saat masih menjabat sebagai Gubernur VOC di Coromandel tahun 1665. Arung Palakka adalah pangeran Bugis yang hidup terjajah dan dalam tawanan Makassar. Ia memberontak dan bersama pengikutnya melarikan diri ke Batavia. VOC menyambutnya dengan baik dan memberikan daerah di pinggiran Kali Angke, hingga serdadu Bugis ini disebut To Angke atau orang Angke. Sedang Kapiten Jonker adalah seorang panglima yang berasal dari Pulau Manipa, Ambon. Dia punya banyak pengikut setia, namun tidak pernah menguasai satu daerah di mana orang mengakuinya sebagai daulat. Akhirnya dia bergabung dengan VOC di Batavia. Rumah dan tanah luas di daerah Marunda dekat Cilincing diberikan VOC kepadanya.
Baik Speelman, Arung Palakka, dan Kapiten Jonker sama-sama berangkat dari hal yang sama yaitu keterasingan. Ketiganya punya sejarah penaklukan yang membuat nama mereka menjadi legenda. Speelman menjadi legenda karena berhasil membuat Sultan Hasanuddin bertekuk lutut di Makassar dalam sebuah perlawanan paling dahsyat dalam sejarah peperangan yang pernah dialami VOC. Bersama Arung Palakka, Speelman menghancurkan Benteng Sombaopu yang menjadi momok bagi VOC serta rintangan (barikade) untuk menguasai Indonesia timur, khususnya jalur rempah- rempah Maluku, pada bulan November 1667.
Arung Palakka sangat populer sebab berhasil menaklukan Sumatra dan membumihanguskan perlawanan rakyat Minangkabau terhadap VOC. Arung Palakka menyimpan dua sisi diametral: di satu sisi hendak membebaskan Bugis, namun di sisi lain justru menaklukan daerah lain di Nusantara. Kisahnya berawal pada tahun 1662, dibuat perjanjian antara VOC dengan pemimpin Minangkabau di Padang. Perjanjian yang kemudian di sebut Perjanjian Painan itu bertujuan untuk monopoli dagang di pesisir Sumatera, termasuk monopoli emas Salido. Sayang, rakyat Minang mengamuk pada tahun 1666 dan menewaskan perwakilan VOC di Padang bernama Jacob Gruys. Arung Palakka kemudian dikirim ke situ dalam ekspedisi yang dinamakan Ekspedisi Verspreet. Bersama pasukan Bugis, ia berhasil meredam dan mematikan perlawanan rakyat Minangkabau hingga menaklukan seluruh pantai barat Sumatera, termasuk memutus hubungan Minangkabau dengan Aceh. Kekuasaan VOC diperluas hingga Ulakan di Pariaman. Di tempat inilah, Arung Palakka diangkat sebagai Raja Ulakan.
Sedang Kapiten Jonker punya reputasi menangkap Trunojoyo dan diserahkan pada pegawai keturunan VOC keturunan Skotlandia, Jacob Couper. Tiga tokoh yaitu Speelman, Arung Palakka, dan Kapiten Jonker telah menaklukan Nusantara di Barat, Tengah, dan Timur. Mereka punya andil besar untuk mengantarkan VOC pada puncak kejayaannya pada masa Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker. Tidak heran kalau ketiga tokoh ini menjadi tulang punggung kekuatan VOC pada masa itu. Maetsueyker tidak berani menolak permintaan ketiganya sebab mereka punya bala tentara yang besar. Di luar ketiganya, ia hanya mengandalkan serdadu bayaran multibangsa dengan loyalitas yang rendah. Akibat kekuasaan yang besar serta penguasaan monopoli emas ini, Speelman berhasil menjadi Gubernur Jenderal VOC pada tahun 1681.
Sayangnya, kisah menakjubkan dari tiga jagoan Batavia ini harus berakhir dalam waktu yang tidak lama. Musuh Speelman yaitu perwira asal Perancis bernama Isaac de’lOrnay de Saint Martin langsung bergerak. Komandan perang yang memenangkan peperangan di Cochin, Colombo, Ternate, Buton, Jawa Timur, dan Jawa Barat ini, berhasil mengungkap semua korupsi dan keculasan Speelman hingga akhirnya Speelman disingkirkan dari posisi Gubernur Jenderal. Isaac juga berhasil mempengaruhi Gubernur Jenderal Champuys untuk menyingkirkan Kapiten Jonker. Wilayah kekuasaan pria Ambon ini di Pejonkeran Marunda dikepung, kemudian diserang. Kapiten Jonker tewas terbunuh dalam penyerbuan itu. Kepalanya dipancung dan dipertontonkan. Pengikutnya dibunuh dan keluarganya diasingkan ke Colombo dan Afrika.
Sedang Arung Palakka disingkirkan secara halus dengan cara memasung langkahnya untuk tetap menjadi Raja Bone, kemudian kekuasaannya dikontrol dari Benteng Rotterdam. Pria Bugis ini dijauhkan dari hiruk-pikuk politik di Batavia sehingga kehilangan semua kuasa dan pengaruh besarnya di jantung kekuasaan VOC. Ia seakan diasingkan agar tidak lagi membangun networking atau jaringan dengan bala tentaranya di Batavia. Hingga akhirnya Arung Palakka kesunyian dan menjemput ajalnya di bumi Sulawesi. Namun, namanya telah terpatri sebagai jagoan tanpa lawan di tanah Batavia.
Sumber : dirangkum dari berbagai macam sumber
Read More..
SITUS TINCO KABUPATEN SOPPENG SULAWESI SELATAN
Pemikiran yang mendasari penelitian situs Tinco, salah satunya berasal dari kajian naskah lontara (filologi). Dalam naskah itu telah menunjuk eksistensi Tinco sebagai tempat awal perkembangan masyarakat Soppeng Riaja. Keberadaan Tinco sebagai kawasan aktivitas manusia masa lampau telah dipaparkan dalam lontara Attoriolonna Soppeng (naskah E=MAK 188, p.5.1-p.7.29 dari Ian Caldwell 1988) yang apabila diterjemahkan secara bebas bahwa masayarakat Soppeng berasal dari dua tempat yaitu Sewo dan Gattareng. Orang-orang yang berasal dari Sewo menempati daerah yang disebut Soppeng Riaja (Soppeng Barat) dan yang berasal dari Gattareng menempati Soppeng Rilau (Soppeng Timur). Ada enam puluh kampung (wanua) yang dipimpin oleh orang yang bergelar Matoa. Kampung-kampung yang termasuk Soppeng Rilau adalah Salotungo, Lompo, Kubba, Paningcong, Talagae, Attassalo, Mangkuttu, Maccile, Watuwatu dan Akkampeng. Sedang yang termasuk Soppeng Riaja ialah: Pesse, Seppang, Pising, Launga, Mattabulu, Ara, Lisu, Lawo, Madello Rilau dan Tinco. Cenrana, Salokaraja, Malaka, Mattoanging termasuk ke dalam Soppeng Rilau dan Soppeng Riaja. Tidak diketahui lagi berapa lama rakyat Soppeng tidak memiliki raja, setelah keturunan Sawerigading terakhir punah. Pada waktu itu, Soppeng hanya dikendalikan oleh para matoa yang berjumlah enam puluh, dan yang dianggap sebagai pemimpin adalah Matoa Bila, Matoa Botto dan Matoa Ujung. Para pemipin inilah yang mengayomi negeri Soppeng sampai datangnya Petta Manurunge (yang turun) di Sekkanyili.
Pada waktu Matoa Tinco mengetahui kedatangan Petta Manurunge di Sekkanyili, maka berita tersebut disampaikan kepada Matoa Botto, Matoa Ujung dan Matoa Bila, untuk diberitakan kepada orang-orang yang bermukim di Soppeng Rilau. Setelah mengetahui berita itu maka, orang-orang dari Soppeng Rilau dan Soppeng Riaja mengambil kesepakatan. Berkata Matoa Ujung bahwa “Dilain hari kita akan datang menjemputnya”. Ditimpali pula oleh Matoa Salotungo “Karena kita telah berkumpul, maka sebaiknya dan mengangkatnya sebagai raja yang menjaga dan membawa kita jauh maupun dekat hingga anak cucu kita nantinya”. Setelah itu berangkatlah para matoa menyampaikannya kepada Tomanurung. Berkatalah Matoa Ujung, Botto dan Bila, bahwa”Kami semua hambamu, mengharap belas kasihmu, janganlah engkau melayang, engkaulah pemerintah kami, yang menjaga kami, mengasihi kami dan membawa kami dekat maupun jauh sampai kepada turunan kami, pendapatmulah yang kami ikuti. Tomanurung berkata : “dari manakah kalian ? Berkata para matoa “saya datang untuk dikasihi, janganlah engkau menghilang, engkaulah yang kami pertuan dan yang akan menjaga kami, melidungi kami baik dekat maupun jauh sampai turunan kami. Kemudian apa yang kamu tidak setuju maka kami tidak akan menyetujui pula.” Dari dialog antara Petta Manurunge dengan para Matoa, terjadilah kesepakatan. Pada saat itu hadir semua para bissu meramaikan kerajaan, dan membawa Tomanurung ke Soppeng di rumah Matoa Tinco, bersama dengan itu diberikan sawah kerajaan di Lakelluaja.
Kapan kejadian yang digambarkan dalam lontara tersebut belum diketahui secara pasti, namun menurut perkiraan beberapa sejarawan bahwa peristiwa itu terjadi sekitar abad ke-12/13 Masehi. Demikian pula dengan tokoh yang disebut Tomanurung tidak diketahui asal usulnya, namun tokoh tersebut digambarkan sebagai sosok yang memiliki kelebihan dan keistimewaan yang akhirnya disepakati sebagai pemimpin masyarakat yang kemudian lebih dikenal dengan nama Latemmamala. Dalam mufakat antara Tomanurung Latemmamala dengan para Matoa yang berjumlah enam puluh, disepakati bahwa Tomanurung akan melindungi dan mangayomi serta berusaha
memakmurkan rakyatnya. Setelah Latemmamala diangkat sebagai Datu (raja) Soppeng Riaja yang pertama, Latemmamala memberitahukan pula bahwa di Gowarie (sekitar 20 km di sebelah selatan Watansoppeng) muncul Tomanurung lain yang bernama Manurunge ri Gowarie. Dia merupakan seorang putri yang kemudian dijemput pula oleh para Matoa dan atas kesepakatan bersama, Latemmamala diangkat sebagai Datu Soppeng Riaja dan Tomanurunge ri Gowarie diangkat sebagai Datu Soppeng Rilau. Selanjutnya dalam silsilah raja-raja Soppeng yang dikenal hanya keturunan Latemmamala.
Keistimewaan Tinco dalam hal ini, digambarkan dalam cerita rakyat sebagai berikut, bahwa : Raja (datu) Soppeng pertama yaitu Tomanurung di Sekkanyili (sebuah tempat di Desa Leworong sekarang kira-kira 20 kilometer di sebelah utara Watansoppeng) yang bernama Latemmamala, beliau dibuatkan istana di Tinco sekitar 7 km di sebelah utara Watansoppeng. Bersamaan dengan itu dibuat pula sawah kerajaan di Lakelluaja.
Demikian lontara meriwayatkan asal muasal terbentuknya sistem pemerintahan Soppeng yang diawali turunnya seorang titisan dewa yang disebut Tomanurung (orang yang turun dari langit) di daerah Sekkanyili. Hal penting yang dapat ditangkap dalam uraian diatas bahwa pada umumnya tempat-tempat yang disebutkan, memiliki peninggalan artefaktual yang membutuhkan sinkronisasi dan interpretasi data sejarah dan arkeologis.
Daerah Tinco sebagaimana dilansir dalam naskah Lontara Attoriolonna Soppeng disebut sebagai wanua yang terjadi setelah masyarakat Soppeng berpindah dari Gattareng (daerah pegunungan) menuju permukiman di daerah-daerah di sekitar pinggir sungai atau kaki bukit yang datar. Selain itu, disebutkan pula bahwa Tinco sebagai ibukota kerajaan Soppeng Riaja dan suatu lokasi terdapatnya kisah mallajang (raib) Tomanurung Latemmamala yang kemudian diabadikan dalam bentuk monumental yang berupa penancapan batu andesit bercungkup (beratap) seng.
Dalam silsilah raja-raja Soppeng sebagaimana yang tertera dalam Lontara Geneologis Kerajaan Soppeng Naskah D=NBG 99, p.224.10-p.230.6 dari Cadwell 1988:118-127 (Kaluppa, 1989:79-82) diperoleh keterangan mengenai nama-nama raja Soppeng sebagai berikut : 1. Latemmamala, 2. La Marangcina, 3. La Bang, 4. We Tekkewanua, 5. La Makkanengnga, 6. La Karella, 7. La Pawiseang, 8. La Pasampoi, 9. La Manussaq, 10. La Den, 11. La Sakati, 12. La Mataesso, 13. La Mappalepeq, 14. Beoe, 15. La Tenribali, 16. We Ada, 17. We Tenri Senge, 18. La Patau, 19. La Pada Sajati, 20. La Pareppa, 21. Batari Toja, 22. To Wesa, 23. La Temma Senge, 24. La Tongeng, 25. La Mappajanci, 26. La Mappapoleonro, 27. We Tenriawaru, 28. We Tenriyampareng, 29. La Unru, 30. La Onrong, 31. To Lompeng, 32. Abdul Gani, 33. Hj. Sitti Saenab, dan 34. Hj. Andi Wana.
Latemmamala sebagai Raja (Datu) Soppeng Riaja pertama kawin dengan We Mapupu (Tomanurung ri Suppa). Dari perkawinan itu melahirkan seorang putra yang bernama La Marangcina yang pada masa berikutnya menggantikan ayahnya sebagai Datu Soppeng Riaja II. Pada masa pemerintahan Datu Soppeng Riaja I, rakyat mengalami kehidupan yang makmur. Dalam menjalankan pemerintahannya, Datu Soppeng Riaja dibantu oleh seorang pangepa. Demikian selanjutnya, hingga masa pemerintahan Datu Soppeng Riaja keempat yaitu We Tekkewanua yang berhasil memperluas wilayah kekuasaan Soppeng hingga ke pantai barat Sulawesi Selatan. Masa itu pula telah dibangun persawahan dan perikanan demi meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. We Tekkewanua mempunyai dua orang anak yaitu Lawadeng yang kemudian menjadi pangepa dan La Makkanengnga yang selanjutnya menggantikan ibunya sebagai Datu Soppeng Riaja.
Pada abad ke-16 Masehi, terjadi pertikaian antara La Mataesso (Datu Soppeng Riaja) dengan La Makkarodda (Datu Soppeng Rilaiu) yang berlanjut hingga terjadi perang saudara kedua belah pihak, namun kemudian La Makkarodda mengalami kekalahan, sehingga ia mengasingkan diri ke Bone. Ketika berada di Bone, ia mengawini We Tenri Pakkua (saudara perempuan Raja Bone, Bongkangnge). Berselang beberapa tahun kemudian La Mataesso memanggil La Makkarodda agar kembali ke Soppeng memimpin kerajaannya, namun La Makkarodda menolak untuk menjadi Datu Soppeng Riaja. La Makkarodda hanya bersedia menjadi panglima perang (watanglipu). Persyaratan itu disetujui oleh La Mataesso, dan sejak saat itu terjadi penggabungan antara wilayah Soppeng Riaja dan Soppeng Rilau dan ibukota kerajaan dipindahkan dari Tinco ke Lalengbata (Lalabata).
Dalam perkembangan selanjutnya, Islam telah masuk pada periode awal abad ke-17 Masehi atas prakarsa raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin. Islam diterima sebagai agama resmi kerajaan Soppeng pada tahun 1609 pada masa pemerintahan Datu Soppeng ke-14 bernama Datu Beoe. Ketika itu, Sultan Alauddin sebagai Raja Gowa ke-14 mengajak seluruh raja-raja di daerah Bugis untuk memeluk ajaran baru (agama Islam), namun kerajaan-kerajaan Bugis seperti Bone, Soppeng, Wajo, Ajatappareng menolak ajakan tersebut, sehingga raja Gowa harus menempuh jalan lain, yaitu memerangi mereka. Peristiwa tersebut yang dikenal dengan musu assellengeng (periksa Andaya, 2004 : 24).
Meskipun dimaklumi bahwa masuknya Islam ke wilayah Soppeng agak terlambat jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Sulawsei Selatan, namun kini Islam justru telah menjadi identitas komunal bagi suku Bugis di Soppeng. Awalnya orang Sulawesi Selatan pada era sejarah masih tetap resisten dalam adaptasinya menghadapi transformasi idiologis dan sosial kultural, namun akhirnya Islam dapat diterima juga, bahkan pada perkembangan selanjutnya menjadi motor penggerak dalam kehidupan ekonomi dan pemerintahan bagi suku Bugis, Makassar, dan Mandar (Fadilla, 1999 : 99). Hal itu didorong oleh adaptasinya dalam interaksi sosial politik dengan etnik besar lainnya seperti Luwu dan Makassar yang telah lebih dahulu menerima Islam.
Diterimanya Islam sebagai agama resmi masyarakat berarti perubahan drastis telah menandai zamannya. Ada indikasi bahwa di Soppeng juga menerima Islam dan bahkan mengalami perkembangannya dengan bukti-bukti arkeologis berupa makam yang megah dan kaya akan ragam hias terutama terlihat pada kompleks maka raja-raja Soppeng di Jera Lompoe, Bila. Dalam persepktif masa kini, kehidupan masyarakat senantiasa ingin menunjukkan identitas budaya dan penghormatan yang tinggi kepada pemimpin atau raja mereka. Penataan makam yang terletak di dalam kompleks tersebut menunjukkan identitas penghormatan dan seakan-akan ada pembagian ruang bagi seorang tokoh yang kharismatik.
Para pemukim yang menganut Islam pada perkembangan kemudian tersebar pada beberapa karakter daerah yang beragam. Di sisi lain mereka memanfaatkan kondisi alam yang meskipun memiliki karakter yang berbeda, namun tetap konsisten dengan agama yang dianut dan sangat dimungkinkan untuk mengembangkan budaya yang diaplikasikannya dalam ajaran Islam sebagai anutan mereka. Masyarakat seolah-olah telah mengalami resistensi budaya yang panjang, namun hanya beberapa lama kemudian sejarah baru mulai diterapkan dan Islam sejak itu terintegrasi dalam budaya Bugis, Makassar dan Mandar (Fadillah,1999:106). Peranan penyebar Islam di daerah tersebut lebih menekankan pada praktek-praktek ritus dan pengukuhan syariah. Perilaku religius dan pengenalan ritus-ritus Islam seperti khitanan dan penamatan Al-Qur’an, pernikahan dan upacara Maulid. Penerapan ajaran Islam pun masih bersifat toleran dengan memberi kelonggaran dalam memasukkan budaya-budaya lokal sejauh hal itu tidak bertentangan dengan aqidah.
sumber : balai arkeologi Makassar
Read More..
Pada waktu Matoa Tinco mengetahui kedatangan Petta Manurunge di Sekkanyili, maka berita tersebut disampaikan kepada Matoa Botto, Matoa Ujung dan Matoa Bila, untuk diberitakan kepada orang-orang yang bermukim di Soppeng Rilau. Setelah mengetahui berita itu maka, orang-orang dari Soppeng Rilau dan Soppeng Riaja mengambil kesepakatan. Berkata Matoa Ujung bahwa “Dilain hari kita akan datang menjemputnya”. Ditimpali pula oleh Matoa Salotungo “Karena kita telah berkumpul, maka sebaiknya dan mengangkatnya sebagai raja yang menjaga dan membawa kita jauh maupun dekat hingga anak cucu kita nantinya”. Setelah itu berangkatlah para matoa menyampaikannya kepada Tomanurung. Berkatalah Matoa Ujung, Botto dan Bila, bahwa”Kami semua hambamu, mengharap belas kasihmu, janganlah engkau melayang, engkaulah pemerintah kami, yang menjaga kami, mengasihi kami dan membawa kami dekat maupun jauh sampai kepada turunan kami, pendapatmulah yang kami ikuti. Tomanurung berkata : “dari manakah kalian ? Berkata para matoa “saya datang untuk dikasihi, janganlah engkau menghilang, engkaulah yang kami pertuan dan yang akan menjaga kami, melidungi kami baik dekat maupun jauh sampai turunan kami. Kemudian apa yang kamu tidak setuju maka kami tidak akan menyetujui pula.” Dari dialog antara Petta Manurunge dengan para Matoa, terjadilah kesepakatan. Pada saat itu hadir semua para bissu meramaikan kerajaan, dan membawa Tomanurung ke Soppeng di rumah Matoa Tinco, bersama dengan itu diberikan sawah kerajaan di Lakelluaja.
Kapan kejadian yang digambarkan dalam lontara tersebut belum diketahui secara pasti, namun menurut perkiraan beberapa sejarawan bahwa peristiwa itu terjadi sekitar abad ke-12/13 Masehi. Demikian pula dengan tokoh yang disebut Tomanurung tidak diketahui asal usulnya, namun tokoh tersebut digambarkan sebagai sosok yang memiliki kelebihan dan keistimewaan yang akhirnya disepakati sebagai pemimpin masyarakat yang kemudian lebih dikenal dengan nama Latemmamala. Dalam mufakat antara Tomanurung Latemmamala dengan para Matoa yang berjumlah enam puluh, disepakati bahwa Tomanurung akan melindungi dan mangayomi serta berusaha
memakmurkan rakyatnya. Setelah Latemmamala diangkat sebagai Datu (raja) Soppeng Riaja yang pertama, Latemmamala memberitahukan pula bahwa di Gowarie (sekitar 20 km di sebelah selatan Watansoppeng) muncul Tomanurung lain yang bernama Manurunge ri Gowarie. Dia merupakan seorang putri yang kemudian dijemput pula oleh para Matoa dan atas kesepakatan bersama, Latemmamala diangkat sebagai Datu Soppeng Riaja dan Tomanurunge ri Gowarie diangkat sebagai Datu Soppeng Rilau. Selanjutnya dalam silsilah raja-raja Soppeng yang dikenal hanya keturunan Latemmamala.
Keistimewaan Tinco dalam hal ini, digambarkan dalam cerita rakyat sebagai berikut, bahwa : Raja (datu) Soppeng pertama yaitu Tomanurung di Sekkanyili (sebuah tempat di Desa Leworong sekarang kira-kira 20 kilometer di sebelah utara Watansoppeng) yang bernama Latemmamala, beliau dibuatkan istana di Tinco sekitar 7 km di sebelah utara Watansoppeng. Bersamaan dengan itu dibuat pula sawah kerajaan di Lakelluaja.
Demikian lontara meriwayatkan asal muasal terbentuknya sistem pemerintahan Soppeng yang diawali turunnya seorang titisan dewa yang disebut Tomanurung (orang yang turun dari langit) di daerah Sekkanyili. Hal penting yang dapat ditangkap dalam uraian diatas bahwa pada umumnya tempat-tempat yang disebutkan, memiliki peninggalan artefaktual yang membutuhkan sinkronisasi dan interpretasi data sejarah dan arkeologis.
Daerah Tinco sebagaimana dilansir dalam naskah Lontara Attoriolonna Soppeng disebut sebagai wanua yang terjadi setelah masyarakat Soppeng berpindah dari Gattareng (daerah pegunungan) menuju permukiman di daerah-daerah di sekitar pinggir sungai atau kaki bukit yang datar. Selain itu, disebutkan pula bahwa Tinco sebagai ibukota kerajaan Soppeng Riaja dan suatu lokasi terdapatnya kisah mallajang (raib) Tomanurung Latemmamala yang kemudian diabadikan dalam bentuk monumental yang berupa penancapan batu andesit bercungkup (beratap) seng.
Dalam silsilah raja-raja Soppeng sebagaimana yang tertera dalam Lontara Geneologis Kerajaan Soppeng Naskah D=NBG 99, p.224.10-p.230.6 dari Cadwell 1988:118-127 (Kaluppa, 1989:79-82) diperoleh keterangan mengenai nama-nama raja Soppeng sebagai berikut : 1. Latemmamala, 2. La Marangcina, 3. La Bang, 4. We Tekkewanua, 5. La Makkanengnga, 6. La Karella, 7. La Pawiseang, 8. La Pasampoi, 9. La Manussaq, 10. La Den, 11. La Sakati, 12. La Mataesso, 13. La Mappalepeq, 14. Beoe, 15. La Tenribali, 16. We Ada, 17. We Tenri Senge, 18. La Patau, 19. La Pada Sajati, 20. La Pareppa, 21. Batari Toja, 22. To Wesa, 23. La Temma Senge, 24. La Tongeng, 25. La Mappajanci, 26. La Mappapoleonro, 27. We Tenriawaru, 28. We Tenriyampareng, 29. La Unru, 30. La Onrong, 31. To Lompeng, 32. Abdul Gani, 33. Hj. Sitti Saenab, dan 34. Hj. Andi Wana.
Latemmamala sebagai Raja (Datu) Soppeng Riaja pertama kawin dengan We Mapupu (Tomanurung ri Suppa). Dari perkawinan itu melahirkan seorang putra yang bernama La Marangcina yang pada masa berikutnya menggantikan ayahnya sebagai Datu Soppeng Riaja II. Pada masa pemerintahan Datu Soppeng Riaja I, rakyat mengalami kehidupan yang makmur. Dalam menjalankan pemerintahannya, Datu Soppeng Riaja dibantu oleh seorang pangepa. Demikian selanjutnya, hingga masa pemerintahan Datu Soppeng Riaja keempat yaitu We Tekkewanua yang berhasil memperluas wilayah kekuasaan Soppeng hingga ke pantai barat Sulawesi Selatan. Masa itu pula telah dibangun persawahan dan perikanan demi meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. We Tekkewanua mempunyai dua orang anak yaitu Lawadeng yang kemudian menjadi pangepa dan La Makkanengnga yang selanjutnya menggantikan ibunya sebagai Datu Soppeng Riaja.
Pada abad ke-16 Masehi, terjadi pertikaian antara La Mataesso (Datu Soppeng Riaja) dengan La Makkarodda (Datu Soppeng Rilaiu) yang berlanjut hingga terjadi perang saudara kedua belah pihak, namun kemudian La Makkarodda mengalami kekalahan, sehingga ia mengasingkan diri ke Bone. Ketika berada di Bone, ia mengawini We Tenri Pakkua (saudara perempuan Raja Bone, Bongkangnge). Berselang beberapa tahun kemudian La Mataesso memanggil La Makkarodda agar kembali ke Soppeng memimpin kerajaannya, namun La Makkarodda menolak untuk menjadi Datu Soppeng Riaja. La Makkarodda hanya bersedia menjadi panglima perang (watanglipu). Persyaratan itu disetujui oleh La Mataesso, dan sejak saat itu terjadi penggabungan antara wilayah Soppeng Riaja dan Soppeng Rilau dan ibukota kerajaan dipindahkan dari Tinco ke Lalengbata (Lalabata).
Dalam perkembangan selanjutnya, Islam telah masuk pada periode awal abad ke-17 Masehi atas prakarsa raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin. Islam diterima sebagai agama resmi kerajaan Soppeng pada tahun 1609 pada masa pemerintahan Datu Soppeng ke-14 bernama Datu Beoe. Ketika itu, Sultan Alauddin sebagai Raja Gowa ke-14 mengajak seluruh raja-raja di daerah Bugis untuk memeluk ajaran baru (agama Islam), namun kerajaan-kerajaan Bugis seperti Bone, Soppeng, Wajo, Ajatappareng menolak ajakan tersebut, sehingga raja Gowa harus menempuh jalan lain, yaitu memerangi mereka. Peristiwa tersebut yang dikenal dengan musu assellengeng (periksa Andaya, 2004 : 24).
Meskipun dimaklumi bahwa masuknya Islam ke wilayah Soppeng agak terlambat jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Sulawsei Selatan, namun kini Islam justru telah menjadi identitas komunal bagi suku Bugis di Soppeng. Awalnya orang Sulawesi Selatan pada era sejarah masih tetap resisten dalam adaptasinya menghadapi transformasi idiologis dan sosial kultural, namun akhirnya Islam dapat diterima juga, bahkan pada perkembangan selanjutnya menjadi motor penggerak dalam kehidupan ekonomi dan pemerintahan bagi suku Bugis, Makassar, dan Mandar (Fadilla, 1999 : 99). Hal itu didorong oleh adaptasinya dalam interaksi sosial politik dengan etnik besar lainnya seperti Luwu dan Makassar yang telah lebih dahulu menerima Islam.
Diterimanya Islam sebagai agama resmi masyarakat berarti perubahan drastis telah menandai zamannya. Ada indikasi bahwa di Soppeng juga menerima Islam dan bahkan mengalami perkembangannya dengan bukti-bukti arkeologis berupa makam yang megah dan kaya akan ragam hias terutama terlihat pada kompleks maka raja-raja Soppeng di Jera Lompoe, Bila. Dalam persepktif masa kini, kehidupan masyarakat senantiasa ingin menunjukkan identitas budaya dan penghormatan yang tinggi kepada pemimpin atau raja mereka. Penataan makam yang terletak di dalam kompleks tersebut menunjukkan identitas penghormatan dan seakan-akan ada pembagian ruang bagi seorang tokoh yang kharismatik.
Para pemukim yang menganut Islam pada perkembangan kemudian tersebar pada beberapa karakter daerah yang beragam. Di sisi lain mereka memanfaatkan kondisi alam yang meskipun memiliki karakter yang berbeda, namun tetap konsisten dengan agama yang dianut dan sangat dimungkinkan untuk mengembangkan budaya yang diaplikasikannya dalam ajaran Islam sebagai anutan mereka. Masyarakat seolah-olah telah mengalami resistensi budaya yang panjang, namun hanya beberapa lama kemudian sejarah baru mulai diterapkan dan Islam sejak itu terintegrasi dalam budaya Bugis, Makassar dan Mandar (Fadillah,1999:106). Peranan penyebar Islam di daerah tersebut lebih menekankan pada praktek-praktek ritus dan pengukuhan syariah. Perilaku religius dan pengenalan ritus-ritus Islam seperti khitanan dan penamatan Al-Qur’an, pernikahan dan upacara Maulid. Penerapan ajaran Islam pun masih bersifat toleran dengan memberi kelonggaran dalam memasukkan budaya-budaya lokal sejauh hal itu tidak bertentangan dengan aqidah.
sumber : balai arkeologi Makassar
Read More..